Merawat Bayi Tanpa Orangtua

Kehidupan Anak-anak di Griya Balita SYD Sidoarjo
Di lantai pertama Griya Balita SYD Sidoarjo, Jawa Timur, suara tangisan bayi terdengar jelas pada Minggu (27/7/2025). Seorang pria duduk menunggu penanggung jawab pengasuh. Ia menggendong bayi dengan jarik bermotif batik cokelat. Kulitnya masih merah. Bayi perempuan mungil itu baru berusia tiga hari.
Tidak lama setelahnya, bayi tersebut diserahkan ke pengasuh panti dan dibawa menuju lantai dua. Di sana, 16 anak-anak menggemaskan dirawat. “Ada bayi baru yang dititipkan,” kata Hesti, penanggung jawab pengasuh Griya Balita SYD Sidoarjo.
Pada hari itu, sebanyak 17 bayi yang sebagian besar berusia di bawah satu tahun dirawat di panti ini. Bayi yang baru lahir dirawat dalam ruangan khusus dengan penjagaan maksimal. Sementara itu, anak-anak lain berkumpul di aula lantai dua yang beralas kasur tebal dengan pembatas pelindung. Beberapa tidur, sementara yang lain sibuk bermain atau menghabiskan susu.
Senyum polos mereka terlihat, dua gigi susu mulai tumbuh terlihat samar-samar di balik tawanya. Pupil matanya bulat sempurna menatap objek-objek yang dilihatnya. Mereka merangkak lalu jatuh, kemudian berdiri mencoba berjalan tanpa perintah. Langkahnya kecil tapi lincah.
“Anak-anak di sini luar biasa. Tanpa diajarkan cara merangkak, berjalan, atau duduk, semuanya bisa sendiri. Saya juga tidak tahu bagaimana caranya,” ujar Hesti.
Hesti telah menemani dan merawat bayi-bayi ini selama tujuh tahun. Mulai dari saat panti asuhan bayi ini berdiri. Ia mampu menghapal setiap karakter dan latar belakang anak asuhnya.
“Ada yang korban sindikat perdagangan anak, ada yang orangtuanya masih SMP, ada yang ibunya masih kuliah, dan ada yang tidak diakui oleh ayahnya,” jelasnya.
Di antara belasan bayi yang dirawat, Andra adalah salah satu yang tanpa diketahui identitasnya. Sejak berusia 10 hari, ia menjadi korban sindikat perdagangan anak. Tidak ada yang tahu kapan tanggal lahirnya. Pihak panti memutuskan, Andra berulang tahun tepat di mana hari pertama kali dia diserahkan ke panti.
“Andra itu anak yang mandiri. Tumbuh kembangnya baik, pinternya mengalir,” ujarnya.
Salosa, bayi asal Papua, diserahkan karena ibunya masih berstatus mahasiswa. Sementara ayahnya tidak mampu merawat. Lalu ada Sakti, bayi paling aktif namun memiliki hati yang mudah luluh. Ia kerap meminta gendong dan peluk oleh pengunjung yang datang menjenguk. Ibunya memilih bekerja di luar negeri, sedangkan ayahnya tidak mengakuinya.
“Latar belakang anak-anak di sini semuanya bikin saya tersentuh. Semua punya kisahnya masing-masing,” kata Hesti.
Ia menjelaskan, semua bayi-bayi yang dirawat di Griya Balita SYD Sidoarjo tidak dapat diadopsi oleh orangtua asuh. Salah satu tujuannya untuk menghindari lepas tanggung jawab dan sulit dipantau perkembangannya.
“Sering di sini minta untuk adopsi tapi kami belum mengizinkan,” ujarnya.
Awalnya, pihak panti pernah mengizinkan orangtua asuh untuk mengadopsi. Namun, suatu kasus ditemukan salah satu orangtua abai. Dulu, anak yang diajak ngamen oleh orangtuanya di jalan. Mereka kebanyakan tidak memiliki identitas resmi seperti kartu keluarga (KK). Padahal KK penting untuk daftar NISN untuk sekolah, ternyata anaknya tidak sekolah.
Setiap anak di Griya SYD Sidoarjo mendapat pendidikan formal di sekolah umum layaknya anak-anak lain. Sehingga, pihak panti menyayangkan bila orangtua asuh dan abai tanggung jawab.
Anak dapat diasuh kembali oleh orangtua apabila sudah layak dan mampu hidup mandiri. Artinya, ketika sudah menginjak usia dewasa.
“Tapi kita berusaha untuk tidak menutup silaturahmi. Jadi, anak-anak yang masih punya keluarga, keluarganya boleh menjenguk. Kami tidak membatasi,” tutupnya.