Meski Rombel Bertambah, SMPN di Jabar Masih Kekurangan Meja-Kursi, Siswa Terpaksa Duduk di Lantai

Kondisi Siswa SMPN 3 Telagasari yang Harus Belajar di Lantai
Di SMPN 3 Telagasari, Karawang, para siswa menghadapi tantangan dalam proses belajar mengajar. Keterbatasan meja dan kursi membuat mereka harus duduk di lantai tanpa alas untuk menuntut ilmu. Hal ini terjadi karena adanya penambahan rombongan belajar (rombel) yang dilakukan sejak tahun ajaran baru 2025.
Penambahan rombel ini menyebabkan jumlah siswa meningkat secara signifikan. Awalnya sekolah hanya mengajukan empat rombel, namun kini bertambah menjadi lima. Akibatnya, sebanyak 200 siswa baru mendaftar. Dampaknya, ruang kelas tidak cukup, sehingga beberapa siswa harus belajar di perpustakaan dan laboratorium.
Kepala Sekolah SMPN 3 Telagasari, Darmanto, menjelaskan bahwa keterbatasan ruang dan fasilitas ini disebabkan oleh tambahan rombel. Ia mengatakan, "Awalnya kami hanya mengajukan empat rombel. Namun, tahun ini kami mendapatkan lima rombel baru. Akibatnya, sebagian siswa tidak kebagian ruang kelas dan sarana pendukung."
Untuk mengatasi masalah ini, orang tua siswa berinisiatif membeli meja dan kursi secara mandiri. Mereka sepakat untuk melakukan urunan tanpa campur tangan sekolah. "Kami sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan wali murid. Jika ada orangtua siswa yang bersedia membantu pengadaan meja dan kursi, kami sangat terbuka. Tapi, kami tidak memungut atau memaksakan iuran dalam bentuk apa pun," ujarnya.
Sekolah juga berharap pihak Disdikpora Karawang segera memberikan bantuan dalam penyediaan ruang kelas baru. Saat ini, ruang perpustakaan dan laboratorium digunakan sebagai ruang belajar darurat. Darmanto menilai, dibutuhkan minimal 12 ruang kelas agar kegiatan belajar bisa berjalan optimal.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Karawang, Wawan Setiawan, pihaknya telah menyediakan ruang kelas baru sesuai kuota yang ditetapkan. "Kemudian mereka juga dapat RKB (ruang kelas baru). Cuma belum mebelernya," katanya.
Orang tua siswa akan melakukan iuran untuk membeli meja dan kursi. "Nah jadi mereka sepakat para orangtua itu, dengan tidak melibatkan sekolah, udunan (urunan/patungan) untuk pembelian mebelernya," ujar Wawan.
Penambahan rombongan belajar ini ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Melalui Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Purwanto, nantinya akan ada penambahan siswa dalam setiap rombel dari 36 menjadi 50 demi memfasilitasi lebih banyak siswa di sekolah negeri.
Meski demikian, kebijakan ini menuai protes dari pihak sekolah swasta. Salah satunya adalah SMK Pasundan Cijulang di Pangandaran, Jawa Barat. Selama membuka pendaftaran murid baru, SMK Pasundan Cijulang hanya menerima 7 orang. Asep Deni, salah satu tokoh yang menyuarakan keberatan, mengatakan bahwa kondisi SMK swasta saat ini kian memprihatinkan dan makin terpinggirkan.
"Analogi saya, ini imbas dari kebijakan yang membebaskan siapa pun masuk ke sekolah negeri, tanpa melihat latar belakang ekonomi atau prestasi," ujarnya.
Tidak hanya SMK Pasundan Cijulang, SMA Guna Dharma Kota Bandung juga masih kekurangan siswa pada SPMB 2025. Kepala SMA Guna Dharma, Ade D Hendriana, mengatakan, di sekolahnya baru ada 15 siswa yang mendaftar sejak SPMB dibuka. Padahal, SMA Guna Dharma membuka pendaftaran SPMB lebih awal dibanding sekolah negeri.
Purwanto, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, mengatakan bahwa sekolah swasta diyakini tetap survive mengingat masih banyaknya lulusan SMP yang tidak tertampung di SMA maupun SMK negeri. Ia menyarankan sekolah swasta meningkatkan layanan dan kualitas pendidikannya agar minat masyarakat meningkat.