Penanganan Sampah: Dekan FISIP Undiknas Bali Minta Pemerintah Kolaborasi dengan Masyarakat

Penanganan Sampah: Dekan FISIP Undiknas Bali Minta Pemerintah Kolaborasi dengan Masyarakat

Peran Kolaborasi dalam Penanganan Sampah di Bali

Penanganan masalah sampah tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Diperlukan keterlibatan aktif dari berbagai komponen masyarakat, termasuk pengusaha dan otoritas tradisional seperti desa adat serta subak. Hal ini disampaikan oleh Dekan FISIP Undiknas, Dr. Drs. Nyoman Subanda, M.Si, setelah menghadiri Workshop Jurnalistik Bali Bebas Sampah.

Menurut Subanda, negara-negara maju seperti Jepang, Korea, Jerman, dan Swedia memiliki sistem pengelolaan sampah yang sangat baik. Salah satu faktor utamanya adalah kejelasan aturan dan sanksi yang tegas. Di Jepang, misalnya, jika seseorang terlambat membuang sampah, maka sampah tersebut harus dikembalikan ke rumahnya. Waktu dan jam yang jelas menjadi bagian dari prosedur standar. Selain itu, perilaku masyarakat juga perlu diberikan edukasi sejak dini untuk membentuk karakter yang baik terkait pengelolaan sampah.

Edukasi bukan hanya tentang metode pembuangan sampah, tetapi juga tentang cara berperilaku masyarakat. Dengan meniru negara-negara maju, Bali dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.

Daur Ulang sebagai Solusi Utama

Salah satu hal yang patut ditiru dari negara-negara maju adalah tingkat daur ulang sampah yang sangat tinggi. Di Jepang, tingkat daur ulang mencapai 80 persen, sedangkan Jerman mencapai 60 persen dan Swedia hanya 1 persen yang dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Hal ini menunjukkan bahwa jika hanya bergantung pada TPA, tujuan Bali Bebas Sampah akan sulit tercapai karena prosesnya memakan waktu lama.

Subanda menekankan bahwa sosialisasi tidak cukup hanya mengajak masyarakat, tetapi juga perlu didukung dengan sanksi yang tegas. Kejaksaan Tinggi sudah bersinergi dengan desa adat dalam penegakan hukum, sehingga langkah-langkah serupa bisa diterapkan dalam penanganan sampah. Penerapan hukum adat juga bisa menjadi alternatif untuk membuat masyarakat lebih sadar dan tertib dalam mengelola sampah.

Kebijakan dan Dana yang Besar

Negara harus tegas dan berani dalam mengambil langkah-langkah tegas terkait sampah. Selain itu, pemberian insentif atau dana besar khusus untuk penanganan sampah juga penting. Bali, yang merupakan destinasi pariwisata, membutuhkan kebersihan sebagai prioritas utama. Oleh karena itu, dukungan terhadap kebijakan pemerintah diperlukan, tetapi juga harus diiringi dengan sanksi yang jelas.

Dalam hal anggaran, negara-negara maju biasanya mengalokasikan 40 hingga 45 persen dari APBD dan APBN untuk penanganan darurat sampah. Saat ini, tingkat daur ulang di Bali masih rendah, hanya 20 persen. Subanda berharap agar tingkat daur ulang bisa ditingkatkan secara bertahap, mulai dari 20 persen menjadi 40 persen, kemudian 60 persen. Di negara-negara maju, rata-rata tingkat daur ulang mencapai 60 persen, dengan Jepang mencapai 80 persen.

Sinergitas dan Partisipasi Swasta

Untuk membuat kebijakan efektif, diperlukan sinergitas antara kebijakan provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat desa. Adanya Peraturan Desa (Perdes) yang mendukung pengelolaan sampah juga menjadi penting. Selain itu, partisipasi swasta harus diperkuat agar tidak ada interpretasi yang salah terhadap pengelolaan sampah.

Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta menjadi kunci dalam mencapai tujuan Bali Bebas Sampah. Dengan pendekatan yang holistik dan tegas, kebersihan lingkungan dapat tercapai dan menjaga kualitas pariwisata Bali.