Amnesty Internasional Minta Pemerintah Jelaskan Transfer Data ke Amerika

Amnesty Internasional Minta Pemerintah Jelaskan Transfer Data ke Amerika

Kritik terhadap Kesepakatan Data Pribadi Indonesia dan Amerika Serikat

Amnesty Internasional Indonesia menyoroti isu penting terkait transparansi dalam kesepakatan data pribadi antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Organisasi ini menilai bahwa kebijakan tersebut dapat melanggar hak warga negara atas privasi jika tidak ada mekanisme yang jelas dan terbuka.

Data pribadi merujuk pada informasi yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi seseorang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Juru Bicara Amnesty Internasional Indonesia, Haeril, menyatakan bahwa tanpa transparansi, perjanjian ini berpotensi melanggar hak asasi manusia. Ia menekankan bahwa pemerintah harus menjelaskan secara rinci syarat dan ketentuan penyimpanan data kepada masyarakat.

Kesepakatan ini disebut sebagai bagian dari kerja sama perdagangan antara kedua negara. Namun, Haeril mempertanyakan mengapa informasi tentang akses data pribadi hanya diketahui dari pihak AS, bukan dari pemerintah Indonesia sendiri. Ia juga menegaskan pentingnya menjawab apakah perjanjian ini bersifat resiprokal atau hanya memberi akses kepada AS.

Menurut Haeril, penggunaan data pribadi tanpa mekanisme perlindungan kuat berisiko menimbulkan penyalahgunaan. Hal ini bisa membuat pemerintah atau pihak ketiga memiliki akses untuk melakukan pengawasan terhadap kehidupan digital masyarakat. Ia menilai bahwa kerja sama ini harus menjamin prinsip-prinsip perlindungan data, termasuk penggunaan informasi yang sah, adil, dan transparan.

Isu Transparansi dalam Perjanjian Kerja Sama

Amnesty Internasional Indonesia aktif dalam kampanye, advokasi, riset, edukasi HAM, dan mobilisasi publik. Didirikan di Indonesia pada tahun 2017, organisasi ini bertujuan mendorong perubahan kebijakan yang adil dan menghormati HAM. Dalam konteks kesepakatan data pribadi, mereka menilai bahwa tidak adanya transparansi dan akuntabilitas menjadi masalah utama.

Haeril menegaskan bahwa pemerintah Indonesia perlu menjelaskan bagaimana transfer data pribadi dilakukan dan data apa saja yang akan dipindahkan ke yurisdiksi AS. Ia juga menyoroti pentingnya komitmen terhadap prinsip-prinsip perlindungan data, seperti pengelolaan informasi yang sah dan transparan.

Penjelasan dari Gedung Putih

Sebelumnya, Gedung Putih merilis pernyataan mengenai "kesepakatan perdagangan bersejarah" antara AS dan Indonesia. Presiden AS, Donald Trump, menjelaskan bahwa kesepakatan ini akan menjadi terobosan besar bagi sektor manufaktur, pertanian, dan digital. Salah satu poin utamanya adalah "Menghapus Hambatan Perdagangan Digital".

Dalam pernyataan tersebut, AS disebut sebagai negara dengan perlindungan data yang memadai. Pemerintah Indonesia disebut akan menyerahkan pengelolaan data pribadi masyarakat kepada AS. Selain itu, perusahaan-perusahaan AS disebut telah melakukan reformasi untuk meningkatkan perlindungan data pribadi.

Gedung Putih juga menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menghapuskan lini tarif HTS bagi produk tak berwujud dan menangguhkan persyaratan deklarasi impor. Mereka juga mendukung moratorium bea masuk atas transmisi elektronik di WTO tanpa syarat.

Tantangan dan Risiko yang Muncul

Meski kesepakatan ini dianggap sebagai langkah maju, banyak pihak khawatir akan risiko penyalahgunaan data pribadi. Tanpa mekanisme perlindungan yang kuat, data bisa digunakan oleh pemerintah atau korporasi untuk mengawasi kehidupan digital masyarakat. Ini bisa membahayakan privasi dan kebebasan individu.

Amnesty Internasional Indonesia menilai bahwa pemerintah perlu lebih transparan dalam menjelaskan semua aspek perjanjian, termasuk bagaimana data akan dikelola dan siapa yang memiliki akses. Mereka menyerukan komitmen yang jelas terhadap prinsip-prinsip perlindungan data agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Dengan demikian, kesepakatan ini perlu diawasi dengan cermat dan diimbangi dengan regulasi yang tegas untuk melindungi hak warga negara.