Membawa Syariah yang Ramah dan Berkontribusi

Featured Image

MUI Memasuki Usia 50 Tahun, Sebagai Mitra Strategis Bangsa

Lima puluh tahun bukanlah usia yang singkat. Di usia ke-50 tahun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berkembang menjadi lebih dari sekadar penjaga moral umat. Ia kini berperan sebagai mitra strategis bangsa dalam menjaga harmoni sosial dan membimbing arah kebijakan keumatan. Perayaan Milad MUI ke-50 tahun ini bukan hanya sekadar seremonial, tetapi juga momen reflektif untuk mengevaluasi kontribusi syariah dalam membangun Indonesia yang damai, adil, dan sejahtera.

Salah satu agenda penting dalam perayaan ini adalah Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS-9 2025). Forum ilmiah ini menjadi ruang dialog antara ulama, akademisi, dan pengambil kebijakan untuk merumuskan arah baru pemikiran syariah yang lebih inklusif dan solutif. Dari sini, kita diingatkan bahwa syariah bukan hanya teks hukum, melainkan spirit etik yang hidup di tengah dinamika pembangunan nasional.

Sejak awal, MUI lahir dari kesepakatan kebangsaan. Ia bukan organisasi keagamaan biasa, melainkan representasi para ulama dari berbagai ormas Islam yang dirancang untuk menjadi perekat umat dan penjaga NKRI. Ketika fatwa MUI diterbitkan, sejatinya ia tidak hanya menjawab isu keagamaan, tetapi juga memberikan etika kebangsaan.

Contohnya, fatwa tentang haramnya korupsi, gratifikasi, dan suap pada awal 2000-an menjadi dasar moral yang menguatkan komitmen antikorupsi negara. Fatwa tentang terorisme sebagai tindakan haram juga memberikan landasan teologis untuk mencegah ekstremisme. Bahkan dalam isu kontemporer seperti ekonomi digital, fintech syariah, dana sosial Islam, dan lingkungan hidup, fatwa MUI mulai hadir dengan nuansa kebangsaan yang kuat dan berperspektif masa depan.

Kiprah MUI dalam Ekonomi Syariah

Kiprah MUI dalam bidang ekonomi syariah adalah contoh nyata bahwa syariah bisa dirumuskan secara ramah, teknokratis, dan kontributif. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI), yang lahir sejak 1999, menjadi rujukan utama dalam membangun fondasi industri keuangan syariah nasional. Hingga saat ini, terdapat 165 fatwa terkait keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah, mencakup perbankan, asuransi, pasar modal, fintech, investasi, dan pemberdayaan sosial Islam.

Fatwa-fatwa tersebut kemudian diadopsi dalam regulasi formal. Misalnya, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta sejumlah peraturan OJK yang mewajibkan kepatuhan pada prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa DSN-MUI. Bahkan Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagai rujukan yuridis hakim dalam memutus perkara ekonomi syariah.

Inilah bukti bahwa fatwa bukan menara gading. Ia bisa menjadi jembatan antara nilai agama dan sistem hukum nasional. Sebuah bentuk fiqh kontekstual yang tidak membelenggu, melainkan membebaskan.

Syariah yang Menyapa, Bukan Menghakimi

Perjalanan 50 tahun MUI juga mengajarkan bahwa syariah yang ramah lebih diterima daripada yang menggurui. Sebab masyarakat kita bukan ruang hampa. Ia plural, kompleks, dan penuh warna. Di sinilah pentingnya pendekatan moderat “wasathiyah” dalam merumuskan fatwa dan panduan keagamaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, MUI konsisten menghadirkan narasi moderasi beragama. Fatwa-fatwa yang diterbitkan selalu mempertimbangkan konteks lokal dan kebijakan negara. Contohnya, dalam fatwa tentang penggunaan vaksin halal-tayyib, MUI mampu menjaga kemurnian prinsip tanpa mengorbankan maslahat publik. Begitu pula dalam fatwa zakat produktif dan wakaf uang, terlihat bahwa syariah bisa menjadi solusi ekonomi rakyat, bukan sekadar ibadah ritual.

Dalam ACFS-9 tahun ini, tema-tema seperti fatwa lingkungan hidup, AI dan etika digital, ekonomi hijau, hingga zakat untuk ketahanan pangan menjadi sorotan utama. Forum ini menandai keseriusan MUI dalam menatap horizon baru: menjadikan fatwa sebagai landasan etik pembangunan berkelanjutan.

Isu fatwa hijau misalnya, menjadi penting seiring krisis iklim yang semakin nyata. Saat dunia membicarakan transisi energi dan pembangunan rendah karbon, Indonesia butuh perspektif syariah yang mendorong eco-ijtihad, yaitu ijtihad untuk merawat bumi sebagai amanah ilahiah.

MUI sebagai Pelopor Etika Publik

MUI sebagai lembaga keulamaan nasional kini dituntut menjadi pelopor etika publik. Fatwa tak lagi cukup bicara halal-haram semata. Ia perlu menyentuh dimensi keadilan sosial, keseimbangan ekologis, dan transformasi teknologi dengan bahasa yang membumi dan bisa diinternalisasi masyarakat luas.

Perayaan 50 tahun MUI dan penyelenggaraan ACFS-9 tahun ini adalah pengingat sekaligus peluang. Pengingat bahwa syariah yang kita butuhkan hari ini bukanlah yang keras dan eksklusif, melainkan yang lembut, inklusif, dan penuh hikmah. Syariah yang menjadi cahaya bagi bangsa, bukan bara bagi sesama.

Sudah saatnya kita membangun narasi baru: bahwa Islam dan syariah di Indonesia adalah rahmat bagi seluruh bangsa. Bahwa fatwa adalah suluh moral, bukan alat kontrol. Dan bahwa MUI bukan hanya lembaga keulamaan, tetapi pilar kebangsaan yang ikut merawat integrasi nasional melalui jalan damai dan maslahat.

Jika itu dapat kita jaga, maka lima puluh tahun ke depan akan menjadi masa keemasan, bukan hanya bagi MUI, tetapi juga bagi Indonesia yang damai, adil, dan penuh berkah.