Satria Kumbara Minta Pulang, Penjara Menantinya

Kehadiran Mantan Marinir di Medan Perang Ukraina dan Dampak Hukumnya
Satria Arta Kumbara, mantan prajurit Korps Marinir TNI Angkatan Laut, kembali menjadi perhatian publik setelah menyatakan keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Saat ini, ia berada di garis depan medan perang Ukraina sebagai tentara bayaran yang bergabung dengan pasukan Rusia. Keputusan Satria ini menimbulkan banyak pertanyaan terkait status hukum dan kewarganegaraannya.
Video yang viral di media sosial menunjukkan bahwa Satria menyampaikan penyesalannya atas tindakannya menandatangani kontrak sebagai tentara relawan Rusia. Ia juga mengaku tidak menyadari bahwa tindakan tersebut berdampak pada status kewarganegaraannya. Ia bahkan secara langsung meminta ampun kepada Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, serta Menteri Luar Negeri Sugiono agar diizinkan pulang dan menjadi Warga Negara Indonesia lagi.
Namun, permohonan Satria terganjal oleh beberapa persoalan hukum. Komandan Korps Marinir TNI AL, Mayor Jenderal TNI Endi Supardi, menjelaskan bahwa meskipun Satria sudah tidak lagi menjadi anggota Marinir secara hukum, hukuman kurungan satu tahun tetap berlaku jika ia kembali ke Indonesia.
"Meski dia sudah bukan anggota Marinir lagi secara hukum, hukuman kurungan satu tahun tetap berlaku jika dia kembali," ujar Endi.
Menurut Endi, Satria meninggalkan kesatuannya sejak 2022 tanpa izin. Pada April 2023, Pengadilan Militer II-08 Jakarta menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan pemecatan dari TNI AL secara tidak hormat karena desersi. Putusan tersebut telah inkrah sejak 17 April 2023.
Endi juga menjelaskan bahwa kasus desersi memiliki batas waktu sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Jika dalam 11 tahun ke depan Satria tidak pulang dan kasusnya tidak diselesaikan, perkara itu bisa kedaluwarsa.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyebut bahwa proses untuk mendapatkan kembali status WNI tidak bisa dilakukan sembarangan. Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan PP Nomor 2 Tahun 2007, permohonan pewarganegaraan harus diajukan ke Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.
Selain itu, Supratman menjelaskan bahwa Satria telah kehilangan status WNI secara otomatis karena bergabung dengan dinas militer asing tanpa izin kepala negara. Hal ini diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Kewarganegaraan. "Jika terbukti menjadi tentara asing, maka kewarganegaraannya gugur dengan sendirinya," tegasnya.
Hingga saat ini, Kemenkumham belum menerima laporan resmi dari perwakilan RI di luar negeri terkait status militer Satria secara administratif.
Di sisi lain, Kementerian Pertahanan melalui Kepala Biro Informasi, Brigjen TNI Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang, mengingatkan masyarakat agar tidak mengikuti jejak Satria. "Bergabung dengan militer asing memiliki risiko hukum dan administratif yang berat. Kami mengimbau masyarakat agar tidak gegabah," ujar Frega.
Dengan situasi yang kompleks ini, Satria harus menjalani hukuman satu tahun penjara jika pemerintah mengizinkannya kembali menjadi WNI. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memahami konsekuensi hukum dari setiap tindakan yang diambil, terutama dalam konteks kewarganegaraan dan militer.