Dari Pati, Isyarat Ketimpangan Fiskal Bergetar

Kenaikan Pajak yang Berujung pada Protes dan Penarikan Kebijakan
Di tengah perayaan Hari Jadi ke-702 Kabupaten Pati, sebuah pemandangan yang kontras terjadi. Kereta kencana yang membawa Bupati Pati, Sudewo, diarak dalam kirab yang seharusnya menjadi momen sukacita. Namun, suasana justru dipenuhi oleh kekecewaan dan protes dari masyarakat. Meski Sudewo berusaha menunjukkan senyum, raut wajahnya tampak gelisah.
Peristiwa ini terjadi setelah rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250% di Kabupaten Pati memicu gelombang protes. Masyarakat merasa diberatkan dengan kenaikan pajak yang dinilai tidak proporsional. Seruan demonstrasi pun mulai bergaung, dengan rencana aksi besar-besaran dijadwalkan pada 13 Agustus mendatang.
Namun, tindakan Bupati Sudewo justru menjadi bumerang. Ia menyatakan bahwa kenaikan pajak tetap akan dilakukan meskipun ada demo ribuan orang. Pernyataan tersebut akhirnya ditarik setelah tekanan dari berbagai pihak, termasuk Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, yang mengimbau agar Pemerintah Kabupaten Pati mengkaji ulang rencana tersebut.
"Kenaikan PBB sampai 250% saya nyatakan untuk diturunkan. Dan selanjutnya marilah kita bersama-sama menjaga agar situasi kondusif, bekerja sesuai kegiatannya masing-masing," ujar Sudewo kepada wartawan usai mengikuti prosesi kirab.
Di Jakarta, kabar ini juga sampai ke telinga Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Meski belum ada konfirmasi apakah ia langsung berkomunikasi dengan Bupati Pati, imbauan dari gubernur dan menteri itu menjadi pertimbangan utama bagi Sudewo untuk membatalkan kenaikan pajak tersebut.
Masalah Struktural di Balik Drama Politik
Peristiwa ini bukan sekadar drama politik lokal, melainkan manifestasi dari kegagalan struktural pasca-implementasi UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Geger di Pati membuka tabir dilematis yang selama ini dihadapi pemerintah daerah: mandat pembangunan yang tinggi, namun dengan kapasitas fiskal yang tidak sepadan.
Pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, perikanan, pertanian, serta infrastruktur jalan yang menjadi prioritas bagi Pemerintah Kabupaten Pati memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Namun, anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pati hanya berkisar di angka Rp300-400 miliar setiap tahun.
UU HKPD memberikan kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota untuk mengelola PBB-P2 sebagai bagian dari otonomi daerah. Namun, pembiayaan pembangunan melalui skema PAD jelas jauh lebih realistis dan mudah dilakukan. Meski kenaikan PBB-P2 sebesar 250% masih dalam koridor UU HKPD, dampak ekonominya jauh dari ideal.
Ahmad Syakir Kurnia, Guru Besar Ekonom Universitas Diponegoro, menjelaskan bahwa kenaikan pajak yang signifikan berpotensi memicu efek kontraksi ekonomi. Konsumsi rumah tangga, yang memberikan porsi terbesar dalam struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), akan terganggu jika daya beli masyarakat menurun.
Ketergantungan pada Dana Transfer
Reformasi fiskal yang coba dibawa UU HKPD masih menyisakan banyak masalah, seperti ketergantungan daerah akan transfer dana dari pusat. Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus, Dana Istimewa, dan Dana Desa adalah sumber pendanaan utama bagi daerah.
Namun, anggaran transfer ke daerah yang dipangkas Sri Mulyani dalam APBN tahun ini mencapai Rp50,59 triliun. Belum lagi, sejumlah program prioritas pemerintah pusat turut menciptakan defisit fiskal vertikal yang tidak sehat.
"Pemerintah pusat sepertinya tidak adil dalam konteks antara pusat dan daerah. Yang akhirnya terbebani adalah pemerintah daerah, kemudian ikut membebani rakyat jadinya," kata Syakir.
Solusi yang Tidak Instan
Solusi untuk mengurai permasalahan ini tidak instan. Skema DAU harus direformulasi untuk menciptakan mekanisme insentif fiskal yang lebih adil. Sebagian porsi DAU sebaiknya dikembalikan ke daerah berdasarkan kontribusi pajak mereka kepada pusat.
"Penghasilan orang Pati, semua transaksi yang ada di Pati, itu pajaknya diambil oleh pemerintah pusat. Seharusnya, itu bisa dikembalikan lagi ke masyarakat dengan skema DAU," ujar Syakir.
Reformulasi DAU diharapkan mampu mengurangi beban fiskal pemerintah daerah. Sehingga, tidak perlu lagi ada kepala daerah yang mengalami dilema besar seperti yang dialami Sudewo, yang ditarget melakukan banyak program prioritas tanpa dibekali kemampuan fiskal proporsional.
"Akan semakin berat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di angka 5%. Kasihan, pemerintah daerah pokoknya sekarang sedang kasihan," imbuh Syakir.