Industri Perbukuan Indonesia Menghadapi Tantangan, Tapi Penting untuk Literasi

Featured Image

Tantangan Industri Perbukuan di Indonesia

Industri perbukuan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang cukup serius. Salah satu masalah utamanya adalah pembajakan, yang semakin marak dan merugikan penerbit serta penulis. Selain itu, minat baca masyarakat juga tergolong rendah, sehingga memengaruhi permintaan akan buku. Hal ini membuat ekosistem perbukuan menjadi tidak sehat dan sulit berkembang.

Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan lebih memperhatikan pengembangan ekosistem perbukuan yang terkait langsung dengan penguatan literasi. Menurut Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, kebijakan terkait literasi masih belum menyentuh aspek-aspek penting di luar pendidikan formal. Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah penguatan industri perbukuan yang saat ini sedang mengalami berbagai masalah seperti harga buku yang mahal, minat baca yang rendah, serta menurunnya ekosistem penerbitan.

Willy juga menyampaikan kekhawatiran tentang hilangnya penerbit independen dan tutupnya toko-toko buku yang dulu aktif dalam melahirkan pemikiran penting. Contohnya, kota-kota seperti Padang Panjang dan Yogyakarta yang dulu dikenal sebagai pusat penerbitan pemikiran Islam dan karya intelektual kini semakin jarang ditemui. Ia menilai bahwa UU Sistem Perbukuan yang lama tidak cukup untuk memberi penegasan kewajiban negara kepada penerbit-penerbit demikian. Ini menjadi pertanyaan bagaimana negeri ini memuliakan pengetahuan.

Revisi UU Sistem Perbukuan

Willy menekankan pentingnya revisi UU Sistem Perbukuan. Ia mengaku telah berupaya mengajukan revisi tersebut sejak awal periode 2019–2024. Revisi ini mencakup visi besar tentang literasi, bukan hanya fokus pada buku pelajaran sekolah. Pimpinan komisi yang membidangi urusan HAM ini menekankan pentingnya dukungan negara terhadap penulis independen, buku-buku bermutu dari luar negeri, serta karya-karya lokal yang berperan sebagai duta budaya.

Literasi, menurut Willy, bukan hanya praktik skolastik. Tidak cukup hanya buku-buku yang jadi buku di lembaga pendidikan yang menjadi perhatian pemerintah. Ada banyak penulis bagus yang akhirnya kalah dengan pembuat diktat sekolah. Ia juga menyebutkan bahwa banyak buku dari luar negeri yang sangat layak menjadi sumber pengetahuan. Belum lagi produk penulisan kita yang tidak difasilitasi sebagai “diplomat budaya”. Hal-hal seperti ini harus dimasukkan dalam revisi.

Willy menilai, disrupsi digital saat ini menuntut respons cepat negara terhadap keberlanjutan minat baca dan literasi masyarakat. Revisi UU Sistem Perbukuan merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat literasi dan menciptakan ekosistem pengetahuan yang sehat. Ia menjelaskan bahwa perubahan UU ini dilakukan dalam semangat memajukan literasi. Perbaikan obligasi negara untuk mencerdaskan bangsa lewat buku, itu satu hal. Ada gerakan literasi yang diinisiasi secara struktural, ini juga hal penting. Semua ini perlu mendapat ruang fasilitasi dan pelindungan oleh negara.

Masalah Akses Buku

Ketua Ikatan Penerbitan Indonesia, Arys Hilman Nugraha, mengatakan bahwa Indonesia masih dihadapkan pada masalah akses terhadap buku, pembajakan, serta penyebaran PDF secara ilegal. Bangsa Indonesia gagal menjadi bangsa melek literasi karena tidak pernah menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan.

Menurut Arys, untuk melangkah ke kondisi literasi, harus mendapatkan sokongan minat baca. Namun, minat baca saja tidak cukup. Prasyarat literasi berikutnya adalah akses terhadap bahan bacaan dan pembudayaan kebiasaan membaca. Ia menambahkan bahwa pemerintah, sesuai amanat UU No. 3 Tahun 2017, memiliki kewenangan dan tanggung jawab terbesar terkait kapasitas literasi bangsa, di antaranya mengembangkan budaya baca dan menyehatkan ekosistem perbukuan.

Upaya meningkatkan kapasitas literasi bangsa juga sangat bergantung pada leadership (kepemimpinan) dari segala lini, mulai dari presiden hingga para pemimpin daerah.