Kebijakan MBG dari Perspektif Gereja Katolik: Baik atau Buruk?

Featured Image

Pandangan Gereja Katolik terhadap Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG)

Sejauh ini belum ada respons resmi dari otoritas Gereja Katolik mengenai kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh pemerintah. Di sisi lain, organisasi agama lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan tanggapan yang berbeda. Misalnya, Ketua MUI Anwar Iskandar menyebut program tersebut sebagai "program dari Tuhan", meskipun kemudian ia menarik kembali pernyataannya karena mengetahui bahwa sebagian dana berasal dari zakat.

Gereja Katolik sendiri memiliki tradisi untuk merespons kebijakan pemerintah dengan melandaskan diri pada ajaran-ajaran sosial Gereja (ASG). Prinsip-prinsip yang menjadi dasar adalah bonum commune (kebaikan bersama), option for the poor (keberpihakan pada yang miskin), dan voice of voiceless (menyuarakan yang tak bersuara). Dalam konteks ini, Gereja tidak hanya melihat soal makanan, tetapi juga bagaimana kebijakan tersebut memengaruhi pendidikan dan kehidupan anak-anak.

Konteks Pendidikan dalam Perspektif Gereja Katolik

Pendidikan selalu menjadi prioritas utama bagi Gereja Katolik. Dokumen penting seperti Gravissimum Educationis (GE) dan Instrumentum Laboris (IL) menjelaskan pentingnya pendidikan yang berkualitas, bermoral, dan berkarakter. Dalam pandangan Gereja, pendidikan adalah hak asasi manusia yang harus dijamin tanpa syarat. Program MBG, yang bertujuan memberikan makanan bergizi gratis kepada anak-anak, seharusnya dilihat dalam konteks pendidikan dan pembangunan karakter.

Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG): Tujuan dan Kontroversi

Program MBG diluncurkan untuk meningkatkan gizi anak-anak dan mengurangi angka malnutrisi serta stunting di Indonesia. Presiden Prabowo mengambil inspirasi dari Jepang, yang dianggap memiliki SDM berkualitas. Namun, kebijakan ini dinilai terlalu cepat diterapkan tanpa studi mendalam tentang kelayakannya. Masalah seperti kualitas makanan dan distribusi yang tidak jelas menjadi pertanyaan besar.

Paradoks dalam Kebijakan MBG

Meski tujuannya baik, kebijakan MBG memiliki paradoks. Pertama, belum ada studi valid yang menguji kelayakkan program. Kedua, proses alokasi makanan masih dipertanyakan. Apakah langsung ke sekolah atau melalui lembaga perantara? Ketiga, perbedaan antara kondisi manusia Jepang dan Nusantara menjadi pertanyaan penting. Falsafah hidup seperti ikigai, bushido, dan shinto yang menjadi dasar kemajuan Jepang tidak dapat disamakan dengan budaya Nusantara.

Falsafah Hidup Jepang: Ikigai, Bushido, dan Shinto

Ikigai adalah filosofi Jepang yang fokus pada tujuan hidup dan kebahagiaan. Bushido adalah kode moral samurai yang menekankan kesetiaan, kehormatan, dan keberanian. Shinto adalah agama lokal yang menghormati alam dan ritual. Ketiga falsafah ini menjadi dasar kemajuan Jepang, bukan hanya karena program makan bergizi gratis.

Penutup

Dari perspektif Gereja Katolik, kebijakan MBG perlu dilihat secara holistik. Gereja akan melihat soal MBG dengan cakupan yang lebih luas, termasuk dampaknya terhadap pendidikan dan kehidupan anak-anak. Meski tujuannya baik, kebijakan ini perlu diperiksa secara mendalam agar benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.