Ratusan Mantan Pegawai RSUD Pati Demo 13 Agustus Soal Kebijakan Sudewo

Aksi Massal Puluhan Mantan Pegawai Honorer RSUD Soewondo Pati
Pada tanggal 13 Agustus 2025 mendatang, ratusan mantan pegawai honorer Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) RAA Soewondo Kabupaten Pati akan bergabung dalam aksi demonstrasi yang digelar oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (Aliansi) di Alun-Alun Pati. Aksi ini menjadi wadah bagi mereka untuk menyampaikan kekecewaan terhadap kebijakan Bupati Pati Sudewo yang dinilai tidak adil dan merugikan para pekerja.
Aksi tersebut disampaikan pada Sabtu malam (9/8/2025), saat para perwakilan dari kelompok korban PHK mengunjungi posko donasi Aliansi yang berada di depan Kantor Bupati Pati. Mereka memasang spanduk dengan tuntutan jelas: “Kembalikan pekerjaan kami, atau turunkan bupati”. Spanduk ini juga ditempatkan di sekitar tumpukan dus air mineral yang menjadi donasi dari para peserta aksi.
Kelompok ini mengklaim diri sebagai “Korban PHK BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) RSUD Soewondo Pati”. Salah satu korban, Ruha, mengungkapkan bahwa dirinya telah bekerja selama 20 tahun di RSUD Soewondo Pati. Namun, ia dikeluarkan tanpa adanya pesangon, pengalihan tempat kerja, atau penghargaan apa pun.
Ruha menjelaskan bahwa 220 pegawai honorer, termasuk dirinya, menjadi korban kebijakan Bupati Sudewo yang melakukan perampingan jumlah pegawai. Pemutusan hubungan kerja dilakukan setelah mereka gagal dalam tes seleksi “karyawan tidak tetap menjadi karyawan tetap” pada April 2025 lalu.
Ia menilai tes tersebut tidak adil dan penuh kecurangan. Salah satu indikasinya adalah ketidaktransparanan hasil skor yang diperoleh peserta. Menurutnya, hanya ada nama dan keterangan lolos atau tidak lolos, tanpa penjelasan detail tentang nilai yang diperoleh.
Selain itu, Ruha menyebutkan bahwa ada peserta yang mencontek jawaban justru lolos seleksi. Bahkan, seorang peserta yang dinyatakan curang dalam berita acara justru lolos. Hal ini membuatnya yakin bahwa proses seleksi penuh kecurangan.
Ruha mulai bekerja di RSUD Pati pada 1 Juli 2005, dalam formasi kerohanian. Ia diterima melalui kompetisi atau tes dari MUI Pati, karena RSUD belum mampu menguji secara keagamaan. Kontraknya terus diperpanjang hingga 1 Juli 2025, setelah itu ia dikeluarkan.
Ia bertanya-tanya, apa salahnya sehingga harus di-PHK setelah puluhan tahun mengabdi. Saat ini, ia masih menguliahkan anaknya. Untungnya, anaknya keterima beasiswa prestasi, sehingga sedikit meringankan beban hidupnya.
Dari total 220 orang yang terkena PHK, 10 orang di antaranya sudah bekerja selama 20 tahun. Sisanya memiliki masa kerja bervariasi, seperti 10, 12, 15, dan 18 tahun. Mereka menuntut agar diberi kesempatan kembali bekerja di RSUD. Jika tidak, mereka akan terus menuntut agar Bupati Sudewo mundur.
Salah satu korban lain, Siswanto, menyampaikan keheranan terhadap alasan Bupati Sudewo merampingkan jumlah pegawai. Menurutnya, alasan efisiensi anggaran tidak logis, karena belakangan RSUD justru membuka rekrutmen pegawai baru.
Siswanto menyebut bahwa Bupati Sudewo pernah menyebut bahwa karyawan honorer masuk tanpa mekanisme seleksi jelas, bahkan menuduh masuk dengan praktik suap. Namun, ia menegaskan bahwa dirinya dan teman-temannya masuk secara murni lewat tes resmi.
Ia mengaku sakit hati dengan tuduhan tersebut. Ia mulai bekerja di RSUD pada 2006 sebagai cleaning service. Lalu, antara 2012 atau 2013, ia ikut tes di GOR dan diterima. Namun, Bupati Sudewo justru menuding mereka masuk secara asal-asalan.
Siswanto mengatakan bahwa saat ini dirinya masih bekerja, namun waktunya untuk dirumahkan tinggal menghitung hari. Pada 31 Agustus mendatang, ia akan di-PHK karena dinyatakan tidak lolos seleksi. Ia berharap, jika RSUD masih butuh karyawan, maka para korban PHK bisa kembali bekerja.
Sebelumnya, Bupati Sudewo melakukan kebijakan perampingan pegawai RSUD dengan alasan efisiensi anggaran. Ia mengklaim jumlah tenaga honorer terlalu banyak, jauh melebihi kebutuhan. Menurutnya, jumlah tenaga honorer mencapai 500-an, padahal seharusnya cukup hanya 200-an.
Sudewo juga mengkritik prosedur penerimaan tenaga honorer yang dinilai tidak tepat. Ia menyatakan bahwa sebelumnya penerimaan tidak melalui prosedur yang benar, tanpa seleksi, tes, atau pengumuman. Akibatnya, tenaga honorer menjadi over dan membebani rumah sakit.
Ia memerintahkan Direktur RSUD, Rini Susilowati, untuk menggelar seleksi pegawai tetap yang diikuti seluruh tenaga honorer. Mereka yang dinyatakan tidak lolos akan diberhentikan. Sudewo menjamin bahwa mekanisme seleksi tersebut adil dan objektif.