Fenomena Rojali dan Inflasi Stabil, Tanda Daya Beli Belum Pulih

Tanda-Tanda Daya Beli Masyarakat Masih Lemah
Di tengah situasi ekonomi yang masih memprihatinkan, berbagai indikator menunjukkan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Meskipun inflasi inti mengalami penurunan dalam tiga bulan terakhir, inflasi umum justru meningkat signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana pemulihan ekonomi benar-benar terjadi.
Inflasi inti pada Juli 2025 mencapai 2,32% year on year (YoY), lebih rendah dibandingkan Juni yang sebesar 2,37% dan Mei yang sebesar 2,40%. Penurunan ini terjadi meskipun inflasi umum meningkat dari 1,87% pada Juni menjadi 2,37% YoY di Juli. Lonjakan inflasi umum sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga pangan, terutama dari komponen volatile food yang melonjak menjadi 3,82% YoY, naik drastis dari 0,10% pada bulan sebelumnya.
Menurut Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman, pelemahan inflasi inti secara tahunan menunjukkan indikasi mulai melemahnya tekanan permintaan domestik struktural. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya inflasi inti sempat tinggi karena dorongan konsumsi pasca-Lebaran, kenaikan harga jasa, serta ekspektasi pasar terhadap insentif fiskal dan kebijakan upah.
Namun, saat inflasi inti turun sementara inflasi umum naik, ini menandakan bahwa tekanan harga bukan berasal dari penguatan permintaan, tetapi dari sisi suplai, khususnya pangan dan energi.
Perilaku Konsumen yang Berubah
Di samping data inflasi, fenomena "rojali" atau rombongan jarang beli juga menjadi indikator penting. Fenomena ini tercatat meningkat sejak Ramadan 2024 lalu, dengan banyak masyarakat yang hanya datang ke pusat belanja untuk melihat-lihat tanpa melakukan pembelian.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menyatakan bahwa fenomena ini berdampak langsung terhadap omzet pusat belanja. Menurutnya, rojali menyebabkan penurunan omzet karena konsumen cenderung memilih produk murah.
APPBI mencatat bahwa mayoritas pengunjung pusat belanja berasal dari kelas menengah ke bawah, yang kini terdampak paling parah oleh melemahnya daya beli. Meski jumlah kunjungan sedikit meningkat, pola belanja berubah. Konsumen menjadi lebih selektif dan fokus pada harga murah.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo menambahkan bahwa pergeseran perilaku belanja ke platform daring sejak pandemi juga memperkuat fenomena ini. Namun, sektor makanan dan minuman (F&B) justru mengalami pertumbuhan akibat meningkatnya aktivitas nongkrong.
Indikasi Pemulihan yang Masih Diragukan
Kepala Ekonom BCA David Sumual menyebut data internal menunjukkan tren penurunan konsumsi hingga kuartal II/2025. Menurutnya, masyarakat—terutama kelas menengah—lebih berhati-hati dan memilih menyimpan uang di instrumen investasi seperti emas, saham, dan deposito.
Mal terlihat ramai, tetapi banyak yang hanya makan atau lihat-lihat. Konsumsi barang mahal menurun. Bahkan produsen barang mewah menyamakan situasi ini dengan krisis 1998.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menjelaskan bahwa fenomena rojali tidak serta-merta mencerminkan peningkatan angka kemiskinan. Ia menegaskan bahwa rojali lebih menggambarkan tekanan konsumsi di kelas rentan atau menengah bawah, dan belum bisa dijadikan indikator tunggal kemiskinan.
Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk menjaga ketahanan konsumsi rumah tangga di kelas menengah bawah, bukan hanya fokus menurunkan angka kemiskinan.