Ahli: RUU Pemilu Tersendat, Gugatan ke MK Meningkat

Featured Image

Perlu Segera Disahkan, RUU Pemilu Harus Dianggap Urgen

Dalam diskusi virtual yang diadakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN UI), Titi Anggraini, Dewan Pembina Perludem, menyampaikan pentingnya segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024 terkait pemilu nasional dan lokal. Ia menekankan bahwa putusan MK bukanlah solusi tunggal dalam merancang aturan kepemiluan.

Menurut Titi, banyak isu pemilu yang membutuhkan pendekatan reformasi dan legislasi. Namun, Undang-Undang 7/2017 yang digunakan pada Pemilu 2019 belum diubah untuk Pemilu 2024. Hal ini menyebabkan beberapa bagian dari undang-undang tersebut tidak lagi relevan dengan dinamika penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

RUU Pemilu Perlu Segera Digodok

Titi menilai, pembahasan RUU Pemilu harus segera dilakukan meskipun pemilu berikutnya masih empat tahun lagi. Semakin lama proses penggodokan RUU Pemilu ditunda, semakin banyak pihak yang akan menggugat ke MK.

Ia menjelaskan bahwa masyarakat cenderung merasa aspirasi hukum dan politik mereka tidak tersalurkan jika tidak ada peraturan yang jelas. Dengan demikian, semakin lama RUU Pemilu dibahas, semakin tinggi potensi gugatan yang akan diajukan ke MK.

Usulan Perpanjangan Masa Jabatan DPRD dan Kepala Daerah

Dalam diskusi tersebut, Titi juga menyoroti pentingnya merumuskan mekanisme pengisian jabatan DPRD dan kepala daerah selama masa transisi antara Pemilu 2024 dan pelaksanaan pemilu daerah berikutnya pada 2031. Ia mengusulkan agar masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah hasil Pemilu 2024 diperpanjang hingga terpilih pejabat definitif hasil pemilu daerah 2031.

Titi tidak setuju bila penjabat kepala daerah ditunjuk karena prosesnya dilakukan dalam ruang gelap yang tidak transparan. Ia menyarankan agar perpanjangan masa jabatan menjadi prioritas utama, karena lebih mengedepankan asas manfaat, legitimasi, dan proporsionalitas perlakuan.

Putusan MK Harus Direspons Secara Holistik

Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa putusan MK Nomor 135/2024 harus disikapi secara holistik. Tujuannya adalah untuk menghadirkan sistem pemilu yang mampu memperkuat kelembagaan partai politik dan sistem dana politik.

Selain itu, pembuat UU harus konsisten dengan sistem multi-partai sederhana yang disandingkan dengan sistem presidensial. Termasuk sepakat tentang konsepsi otonomi daerah saat ini.

Bima menambahkan, menyusun sistem pemilu harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Menata sistem kepemiluan harus diletakkan untuk kepentingan nasional dan integrasi bangsa.

“Mari kita letakkan secara hati-hati, jangan sampai semuanya teruyak-uyak gitu ya. Dipukul ratakan semua. Mari kita letakkan tadi, satu dalam konteks kita membangun sistem partai politik seperti apa, kedua kepentingan nasional kita, dan integrasi kita seperti apa,” ujar Bima.

Pentingnya Kecepatan dalam Revisi UU Pemilu

Titi Anggraini juga menekankan bahwa revisi UU Pemilu tidak boleh didominasi oleh kepentingan partisan. Ia menilai bahwa putusan MK harus menjadi referensi penting dalam penyusunan regulasi baru.

Dengan adanya putusan MK, pemerintah dan DPR memiliki tanggung jawab untuk segera menindaklanjutinya. Proses revisi UU Pemilu harus dilakukan dengan cepat dan transparan agar dapat menciptakan sistem pemilu yang lebih baik dan berkelanjutan.