Aroma Menawan

Aroma Menawan

Menggali Makna di Balik Aroma Penyair Mahzan

Ade Mayasanto, S.Pd., M.M
Editor in Chief
Bangka Pos/Pos Belitung

Dalam dua paragraf pertama cerita pendek yang berjudul Aroma Penyair Mahzan, karya Helvy Tiana Rosa, mata saya langsung terpaku pada kalimat yang menggugah pikiran. "Baginya, wangi lebih abadi dari kata-kata," tulis Helvy. Kalimat ini seperti memanggil dan menantang untuk merenungkan maknanya. Bagaimana bisa aroma, yang dirasakan melalui indra penciuman, dibandingkan dengan kata-kata yang masuk lewat indra pendengaran? Pertanyaan ini membuat saya terdiam sejenak. Sebab, rasanya tidak masuk akal jika sesuatu yang tidak terlihat dan tidak terdengar bisa lebih abadi daripada kata-kata yang jelas-jelas ada. Namun, ini bukan soal cerita yang sulit dipahami. Ini lebih tentang bagaimana penulis memilih menyampaikan pesan melalui narasi yang sederhana namun dalam.

Tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan itu, maka saya memutuskan untuk mencari tahu siapa Helvy Tiana Rosa. Dengan menggeser layar laptop, saya mencoba menemukan informasi tentang penulis. Di akhir artikel Kompas.id, terdapat data singkat tentang Helvy. Ia dikenal sebagai seorang cerpenis, novelis, penyair, dan penulis kreatif di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Selain itu, Helvy telah menghasilkan lebih dari 80 buku sastra. Beberapa karyanya yang terbaru adalah Jantung yang Berdetak dalam Batu dan Jangan Lupa Jatuh Cinta, yang dirilis pada tahun 2025.

Meskipun saya tidak mengenal sosok Helvy secara pribadi, saya pernah menempuh pendidikan di kampus yang sama. Informasi singkat ini memberikan konteks yang cukup untuk memahami alasan penulis membandingkan aroma dengan kata-kata. Dengan demikian, saya kembali membaca cerita tersebut untuk mencari konteks awal. Cerita bermula dari sosok seorang penyair tua bernama Mahzan yang tinggal di kaki bukit Seulawah. Rumahnya berpanggung lumut, dikelilingi rumpun nilam dan ilalang yang tinggi. Mahzan dikenal sebagai penulis koran, tetapi ia sudah lama berhenti menulis di media massa. Ia juga menolak undangan untuk membacakan puisi, seolah ingin menjauh dari dunia sastra yang ramai.

Setelah menjauh dari dunia sastra, Mahzan memilih untuk duduk di serambi rumahnya, hanya berjemur dan mencium dedaunan nilam. Baginya, setiap hela napas dari aroma nilam mengandung kenangan masa kecil, tangis ibu yang lenyap saat konflik datang, serta peluh petani yang tak pernah masuk catatan sejarah. Ia ingin menjadi bagian dari aroma itu, bukan menjadi debu atau tanah. Baginya, wangi lebih abadi dari kata-kata.

Rasa sesal muncul ketika saya mulai memikirkan pertanyaan tentang aroma dan kata-kata. Kenapa harus mencari jawaban? Kini, saya merasa lebih baik menyimpan pertanyaan itu dalam hati. Mengapa? Karena aroma ini tidak berada di ruang hampa. Meskipun tidak memiliki bentuk atau warna, aroma mampu membangkitkan kenangan, suasana hati, bahkan perilaku. Mahzan ingin menunjukkan bahwa keindahan bisa dirasakan, bukan hanya dilihat atau didengar. Wangi nilam mengingatkan kita bahwa nilai sejati tidak selalu hadir dalam bentuk yang terlihat, tapi dalam hal-hal yang alami dan diam.

Aroma ini juga mengingatkan kita pada pemikiran filsuf Martin Heidegger tentang manusia sebagai Dasein. Wangi sebagai pengalaman inderawi menghubungkan manusia dengan dunia secara langsung dan tak terpisahkan. Wangi bukan sekadar objek, tapi bagian dari keduniawian yang bisa membentuk makna sehari-hari. Ia juga bisa menjadi panggilan waktu tentang keberadaan. Di sini, aroma mengandung makna tanpa perlu kata-kata. Ia muncul sebagai penanda kehadiran yang halus, tapi menggetarkan. Wangi hadir, menguar, lalu lenyap, tetapi meninggalkan sesuatu dalam diri kita. Begitulah ketika aroma berbicara tanpa kata. Tidak terdengar oleh telinga, tapi merasuk ke dalam hati dengan kejujuran, kelembutan, dan penuh makna. Seperti wangi nilam dalam aroma Mahzan.