Harga Minyak Terjepit Antara Kelebihan Pasok dan Peningkatan Musim Panas

Featured Image

Pasar Minyak Mentah Menghadapi Tantangan Kekuatan yang Bertolak Belakang

Pasar minyak mentah saat ini sedang mengalami tekanan yang berasal dari dua arah. Di satu sisi, harga minyak masih berada di kisaran US$70 per barel. Di sisi lain, ancaman kelebihan pasokan yang bisa memengaruhi pasar hingga 2026 semakin terdengar.

Sejumlah pihak seperti TotalEnergies SE dari Prancis memberikan peringatan bahwa pasar akan dibanjiri pasokan seiring dengan pelonggaran pengurangan produksi oleh OPEC+. Sementara itu, Equinor ASA dari Norwegia juga melaporkan bahwa ladang Johan Castberg telah beroperasi penuh, dan proyek minyak lepas pantai Brasil akan segera berkontribusi. Hal ini menunjukkan bahwa pasokan dari luar OPEC+ juga akan meningkat.

Badan Energi Internasional (IEA) dan Badan Informasi Energi AS (EIA) baru-baru ini merevisi proyeksi surplus untuk tahun depan secara signifikan naik. Kedua lembaga tersebut memperkirakan bahwa pasokan akan melampaui permintaan secara mencolok, dengan IEA memperkirakan kelebihan hingga 2 juta barel per hari — yang merupakan angka tertinggi sejak masa pandemi.

Jika surplus ini benar-benar terjadi, maka bisa mendorong penurunan harga minyak global. Hal ini juga dapat meredam inflasi dan menguntungkan Presiden AS Donald Trump yang selama pemerintahannya menyerukan harga energi yang lebih rendah.

Namun, realitas pasar saat ini menunjukkan gambaran yang berbeda. Persediaan minyak di pusat-pusat penyimpanan utama masih rendah, yang tercermin dalam struktur pasar yang bullish. Margin keuntungan dari pengolahan minyak mentah menjadi bahan bakar pun tetap jauh di atas rata-rata musiman, menandakan permintaan masih kuat.

Harga minyak mentah patokan Brent melemah 1,45% dalam seminggu terakhir, dan ditutup di posisi US$67,47 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah 1,72% dalam sepekan ke level US$64 per barel.

Kepala Riset Komoditas dan Derivatif Bank of America Francisco Blanch menyebutkan bahwa musim panas secara historis memang menopang harga minyak. Namun, tekanan terhadap harga diperkirakan masih akan datang. Ia menambahkan bahwa surplus bisa mendekati 200 juta barel di paruh kedua tahun ini, sehingga tekanan akan segera datang.

Selain faktor produksi dari OPEC+, ada juga faktor lain yang diperhitungkan. Proyeksi pasokan biofuel — yang bersaing dengan minyak konvensional — naik 200.000 barel per hari dibanding estimasi dua bulan lalu.

Pemerintah AS kini memproyeksikan lonjakan pasokan global sebesar 2,1 juta barel per hari dari kuartal I ke kuartal IV tahun ini — kenaikan terbesar sejak Februari. Proyeksi dari IEA dan EIA menjadi acuan penting bagi pelaku pasar dalam memetakan arah pergerakan harga.

Saat ini, permintaan global tampak masih solid. Vitol Group, salah satu pedagang minyak terbesar dunia, menyebut permintaan bahan bakar jet terus meningkat seiring lonjakan jumlah penerbangan global. Di AS, data mingguan permintaan minyak juga berada di titik tertinggi tahun ini, dan empat dari lima data bulanan terakhir mengalami revisi naik.

Meskipun ketegangan dagang global bisa mengganggu permintaan, tren historis menunjukkan bahwa perkiraan konsumsi seringkali direvisi ke atas. Dari 2012 hingga 2024 (dengan pengecualian tahun 2020 akibat pandemi), proyeksi permintaan IEA rata-rata naik 500.000 barel per hari setelah data lengkap dirilis.

Kepala Strategi Komoditas Global JPMorgan Chase & Co. Natasha Kaneva mengatakan bahwa saat efek musim panas memudar, surplus global diperkirakan akan mulai terlihat dan pasokan akan terus bertambah. Ia menambahkan bahwa cepat atau lambat, akumulasi persediaan akan mulai tampak di negara-negara OECD seperti AS. Pasar belum memperhitungkan risiko ini.