Heboh Amplop Kondangan Dikenakan Pajak, DJP Akhirnya Beri Penjelasan

Featured Image

Isu Pajak Amplop Kondangan yang Memicu Kekhawatiran

Isu pajak amplop kondangan atau hajatan baru-baru ini menjadi sorotan publik. Berita ini menimbulkan kegundahan di kalangan masyarakat, terutama karena uang yang biasanya diberikan oleh tamu undangan kepada pemilik acara kini dikabarkan akan dipungut pajak. Hal ini memicu berbagai reaksi dan pertanyaan mengenai kebenaran informasi tersebut.

Pernyataan tentang wacana pemerintah yang akan memungut pajak dari amplop hajatan atau kondangan telah santer terdengar sebelumnya. Bahkan, Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menyampaikan bahwa dirinya mendengar adanya rencana tersebut dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat beberapa waktu lalu. Ia menilai hal ini sebagai sesuatu yang tragis jika benar-benar dilakukan.

Menurut Mufti, isu ini tidak hanya menyangkut amplop hajatan, tetapi juga mencakup berbagai jenis penghasilan lain yang kini dikenakan pajak. Ia menyoroti pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM), pedagang daring, serta para influencer yang kini semakin terbebani oleh aturan pajak yang dinilai memberatkan. Menurutnya, kebijakan-kebijakan seperti ini dapat memengaruhi semangat dan kepercayaan diri para pelaku usaha.

Penjelasan DJP Mengenai Pajak Amplop Kondangan

Merespons isu tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan penegasan bahwa tidak ada rencana untuk memungut pajak dari amplop kondangan atau hajatan. Penegasan ini disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, yang menjelaskan bahwa pernyataan tersebut mungkin muncul akibat kesalahpahaman terhadap prinsip perpajakan yang berlaku secara umum.

Rosmauli menjelaskan bahwa sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), setiap tambahan kemampuan ekonomis bisa menjadi objek pajak, termasuk hadiah atau pemberian uang. Namun, tidak semua kondisi langsung dikenakan pajak. Misalnya, jika pemberian tersebut bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait hubungan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi prioritas pengawasan DJP.

Selain itu, ia menegaskan bahwa sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment, yaitu setiap wajib pajak melaporkan sendiri penghasilannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Oleh karena itu, DJP tidak melakukan pemungutan langsung di acara hajatan, dan tidak memiliki rencana untuk melakukan hal tersebut.

Kritik Terhadap Kebijakan Pengalihan Dividen BUMN

Mufti Anam juga menyampaikan kritik terhadap kebijakan pengalihan dividen BUMN ke Danantara. Menurutnya, kebijakan ini justru mengurangi penerimaan negara dan memaksa Kementerian Keuangan mencari cara lain untuk menambal defisit. Salah satu langkah yang diambil adalah menerapkan kebijakan pajak yang dinilai memberatkan masyarakat.

Ia menilai bahwa kebijakan ini membuat banyak pelaku UMKM dan anak-anak muda yang berjualan secara daring menjadi ragu untuk melanjutkan usahanya. Menurutnya, kebijakan pajak yang muncul belakangan ini berdampak signifikan pada semangat dan kepercayaan diri para pelaku usaha.

Mufti juga mempertanyakan jaminan bahwa Danantara dapat mengelola dana negara secara lebih baik dibandingkan langsung dikelola oleh Kementerian Keuangan. Ia menegaskan bahwa ini menjadi pertanyaan penting yang perlu dijawab dengan transparansi dan kejelasan.

Kesimpulan

Isu pajak amplop kondangan atau hajatan yang sempat memicu kekhawatiran di masyarakat akhirnya ditanggapi oleh DJP dengan penjelasan yang jelas. Meskipun ada wacana yang muncul, DJP memastikan bahwa tidak ada rencana untuk memungut pajak dari amplop hajatan. Namun, kritik terhadap kebijakan pajak yang dianggap memberatkan masyarakat tetap menjadi topik yang perlu diperhatikan.