Kesalahan yang Dekat Tapi Tak Terlihat

Malaadministrasi: Bentuk Penyimpangan yang Tak Terlihat Tapi Sangat Merugikan
Di tengah sorotan media terhadap kasus-kasus korupsi besar di Indonesia, sering kali masyarakat lupa bahwa ada bentuk penyimpangan lain yang juga merugikan dan berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari. Ia dikenal dengan istilah malaadministrasi. Meskipun tidak selalu menarik perhatian, malaadministrasi justru lebih dekat dengan kehidupan masyarakat dan bisa menghancurkan kepercayaan publik secara perlahan.
Malaadministrasi hadir dalam bentuk-bentuk yang sering kali dianggap biasa. Dari antrean yang tidak jelas, pelayanan yang lambat, hingga sikap aparat yang kurang ramah, semua itu bisa menjadi indikasi adanya penyimpangan dalam pelayanan publik. Kejadian-kejadian ini sering kali dianggap sebagai hal yang wajar karena terjadi berulang kali, sehingga tidak lagi dianggap sebagai masalah.
Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, malaadministrasi didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum, penggunaan wewenang untuk tujuan yang tidak sah, kelalaian dalam menjalankan kewajiban hukum, atau penundaan pelayanan yang tidak beralasan. Namun, meski sudah diatur dalam regulasi, banyak masyarakat masih asing dengan konsep ini. Mereka lebih familiar dengan korupsi, meski sebenarnya malaadministrasi juga memiliki dampak yang nyata.
Dalam praktiknya, malaadministrasi dapat menyebabkan kerugian materiil dan imateriil. Kerugian materiil mencakup biaya transportasi yang berulang, hilangnya pendapatan akibat harus meninggalkan pekerjaan, serta tertundanya bantuan sosial. Sementara kerugian imateriil meliputi rasa frustrasi, ketidaknyamanan, dan hilangnya kepercayaan terhadap institusi negara. Ketika masyarakat merasa tidak dihargai dalam proses pelayanan, maka hubungan antara negara dan rakyat mulai retak.
Data dari Ombudsman RI dalam laporan tahunan 2024 menunjukkan bahwa nilai kerugian ekonomi masyarakat akibat malaadministrasi mencapai Rp166,49 miliar. Angka ini bertambah secara kumulatif sejak tahun 2021 hingga mencapai Rp496,69 miliar. Angka ini membuktikan bahwa malaadministrasi bukanlah isu kecil yang bisa diabaikan.
Selain itu, malaadministrasi juga bisa menjadi peluang bagi korupsi untuk berkembang. Ketika sistem pelayanan publik tidak jelas, kontrol lemah, dan prosedur tidak transparan, celah-celah untuk tindakan tidak etis seperti pungutan liar atau suap akan semakin terbuka.
Setiap tahun, Ombudsman RI menerima laporan tentang malaadministrasi di berbagai sektor seperti pertanahan, pendidikan, kependudukan, kesehatan, dan kepegawaian. Bentuk-bentuk penyimpangan ini sering kali berupa penundaan layanan, tidak memberikan pelayanan, atau pelanggaran prosedur yang merugikan masyarakat.
Meskipun begitu, malaadministrasi sering kali tidak mendapat perhatian yang cukup dalam pemberitaan. Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang "tidak spektakuler" dibandingkan kasus korupsi besar. Padahal, pelayanan yang buruk adalah sesuatu yang sangat dekat dengan masyarakat dan memberikan dampak langsung.
Untuk mencegah malaadministrasi, diperlukan beberapa langkah penting. Pertama, edukasi publik tentang hak-hak pelayanan agar masyarakat memahami bahwa mereka berhak atas pelayanan yang cepat, jelas, dan adil. Kedua, memperkuat pengawasan melalui lembaga pengawas dan partisipasi masyarakat sebagai pengawas utama. Ketiga, melakukan transparansi dan digitalisasi prosedur agar mudah diakses dan mengurangi celah-celah pelanggaran. Terakhir, reformasi budaya pelayanan agar aparat lebih bersikap sebagai pelayan publik, bukan sebagai penguasa.
Pada akhirnya, kita perlu sadar bahwa malaadministrasi tidak hanya sekadar penyimpangan, tapi juga ancaman terhadap kualitas pemerintahan dan kepercayaan publik. Dengan memperhatikan penyimpangan ini, kita bisa menciptakan negara yang benar-benar melayani dengan baik, adil, dan manusiawi.