Mengukur Kerugian Ekonomi dan Lingkungan Akibat Karhutla

Kerugian Ekonomi dan Lingkungan Akibat Karhutla di Indonesia
Indonesia menghadapi ancaman besar dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi secara berulang setiap tahunnya. Fenomena ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Namun, hingga kini belum ada mekanisme yang jelas untuk menghitung dan mempertanggungjawabkan dampak bencana tersebut, terutama karena perubahan iklim yang semakin memperparah kondisi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan, luas area yang terbakar selama Januari hingga Mei 2025 mencapai 8.594,5 hektare. Penyebab utamanya adalah aktivitas pembakaran yang dilakukan oleh manusia. Menurut Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Ditjen Gakkumhut), sebagian besar karhutla disebabkan oleh tindakan sengaja yang dilakukan untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan.
Daerah yang paling terdampak adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan luas 1.424,23 hektare, diikuti oleh Kalimantan Barat dengan 1.149,02 hektare dan Riau dengan 751 hektare. Selain itu, pantauan titik panas (hotspot) menggunakan satelit Terra-Aqua (NASA) pada periode 1 Januari hingga 22 Juli 2025 menunjukkan total 854 titik panas. Di Riau saja, tercatat 180 titik panas, dengan Kabupaten Rokan Hilir menjadi wilayah yang paling banyak terkena dampaknya.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah hotspot selama Januari–Juni 2025 terlihat lebih rendah. Pada periode yang sama di 2024, jumlahnya mencapai 655 titik, sedangkan pada 2023 sebanyak 631 titik. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan, hal ini tidak berarti bahwa risiko karhutla telah berkurang. Sebaliknya, kejadian ini masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat dan lingkungan.
Karhutla sering kali terjadi akibat pembakaran lahan gambut, yang menjadi metode termurah untuk membuka lahan pertanian. Namun, biaya yang harus dibayar oleh masyarakat jauh lebih besar. Bank Dunia dalam laporan "The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis" mengestimasi kerugian ekonomi akibat karhutla pada 2015 mencapai US$16,1 miliar atau setara Rp221 triliun. Dalam peristiwa tersebut, 2,6 juta hektare lahan terbakar, yang setara dengan empat kali luas Pulau Bali.
Selain kerugian ekonomi, karhutla juga menyebabkan gangguan kesehatan pada jutaan warga Indonesia. Kabut asap yang dihasilkan dari pembakaran menyebabkan masalah pernapasan, sementara kualitas udara yang menurun mengganggu aktivitas ekonomi dan pendidikan. Bahkan, beberapa bandara terpaksa ditutup sementara sekolah-sekolah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga terpaksa menghentikan aktivitas belajar.
Empat tahun kemudian, pada 2019, World Bank menyebutkan bahwa karhutla telah menyebabkan 900.000 orang menderita gangguan pernapasan. Total kerugian ekonomi di delapan provinsi yang terdampak mencapai US$5,2 miliar atau 0,5% dari PDB nasional. Dampak ini terasa di sektor pertanian, transportasi, perdagangan, industri, dan lingkungan.
Kepala Subdit Penanggulangan Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan, Israr Albar, menyatakan bahwa saat ini belum ada metode baku untuk mengukur kerugian akibat karhutla. Ia menjelaskan bahwa upaya penghitungan kerugian sering terkendala oleh keterbatasan data di lapangan. Hal ini membuat perhitungan kerugian menjadi sulit dan tidak akurat.
Tanggung Jawab Pemegang Konsesi
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq pernah menyebutkan bahwa kerugian lingkungan akibat karhutla sejak 2020 mencapai Rp18 triliun. Tagihan ini ditujukan kepada pemegang konsesi yang lahannya terbakar. KLH telah mengajukan tagihan kepada beberapa perusahaan sejak 2019 hingga 2023.
Berdasarkan putusan hukum, nilai kerugian lingkungan dari karhutla yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan pemegang konsesi mencapai Rp18 triliun. Hanif menegaskan bahwa tagihan ini akan terus dipertanyakan kepada perusahaan-perusahaan terkait.
Ia juga mengingatkan para pemegang konsesi bahwa sanksi pidana akan diberlakukan jika karhutla kembali terjadi di area mereka. "Kami tidak peduli apakah lahan ini terbakar karena masyarakat atau karena mereka sendiri. Sanksi pidana akan diberikan," ujarnya.
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengirim surat kepada seluruh perusahaan pemegang konsesi untuk melaporkan penanggulangan karhutla. Perusahaan wajib menyampaikan laporan tersebut setelah dua minggu menerima surat. Jika tidak memenuhi syarat, perusahaan akan mendapatkan teguran yang berkonsekuensi sanksi pidana.