Meriahkan Hari Raya, Bupati Mitra Gelar Open House, Siapa Saja Bisa Datang

Meriahkan Hari Raya, Bupati Mitra Gelar Open House, Siapa Saja Bisa Datang

Tradisi Pengucapan Syukur di Minahasa Tenggara

Di Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Provinsi Sulawesi Utara, masyarakat kembali merayakan tradisi tahunan yang dikenal sebagai Pengucapan Syukur. Acara ini digelar pada hari Minggu, 27 Juli 2025, sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas berkat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya untuk hasil bumi dan jerih payah masyarakat selama setahun terakhir.

Pengucapan Syukur bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya dan spiritual masyarakat Minahasa. Acara ini dirayakan setiap tahun dengan penuh antusiasme dan kebersamaan. Bupati Mitra, Ronald Kandoli, menggelar open house di White House kelurahan Lowu, Kecamatan Ratahan, untuk memeriahkan perayaan ini. Acara ini terbuka bagi seluruh masyarakat dan tamu dari berbagai wilayah di Provinsi Sulut.

Menurut Bupati Ronald Kandoli, pengucapan syukur merupakan wujud nyata dari kesadaran iman atas penyertaan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Ia menekankan bahwa acara ini adalah momen penting untuk bersyukur atas berkat dan penyertaan Tuhan selama satu tahun terakhir. Keluarga besar Kandoli-Antou siap menyambut tamu dalam suasana kekeluargaan dan mengajak masyarakat menjadikan momen ini sebagai penguat persaudaraan dan kebersamaan.

Selain itu, Bupati juga mengingatkan masyarakat agar tetap menjaga keamanan, toleransi antarumat beragama, serta mematuhi aturan lalu lintas selama perayaan berlangsung. Ia berharap masyarakat dapat menjaga kerukunan, saling menghargai, dan menciptakan suasana damai, terutama kepada tamu yang datang bersilaturahmi ke Mitra.

Sejarah dan Makna Pengucapan Syukur

Pengucapan Syukur adalah tradisi turun-temurun etnis Minahasa yang sering dirayakan setiap tahun. Tradisi ini awalnya merupakan bentuk ungkapan syukur atas hasil panen. Momen ini dirayakan setahun sekali dan identik dengan berkunjung atau lebih umum dikenal dengan istilah silaturahmi, yang dalam bahasa Manado disebut "pasiar".

Tradisi ini dilakukan dengan berkunjung ke rumah sanak saudara, sahabat, hingga rekan kerja. Awalnya, tradisi ini berawal dari mata pencaharian masyarakat Minahasa yang sebagian besar adalah petani. Setelah masa panen, masyarakat melakukan ritual foso rumege um banua (pengucapan syukur) kepada Opo Empung Wailan Wangko atau kepada Tuhan yang kuasa.

Dengan masuknya pengaruh agama Kristen, beberapa ritual khas kepercayaan leluhur sudah tidak lagi dilakukan oleh kebanyakan orang. Namun nilai-nilai syukur kepada Tuhan atas hasil panen masih melekat. Warga desa biasanya membawa makanan atau hasil pertanian mereka ke gereja, lalu masyarakat akan duduk dan makan bersama.

Makanan dan Kebersamaan dalam Pengucapan Syukur

Jamuan makan dalam Pengucapan Syukur tidak hanya sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, tetapi juga sebagai bentuk kebersamaan antar anggota. Dalam jamuan ini, para anggota saling melayani, bercengkrama, dan berbagi cerita. Makanan yang disajikan biasanya berupa nasi dengan berbagai lauk pauk istimewa seperti daging babi, ayam, dan lainnya. Bahkan makanan ekstrim seperti ular, kelelawar, babi hutan, tikus, anjing, dan daging ekstrim lainnya juga tersedia.

Selain itu, warga juga membuat dodol dan nasi jaha, yang kini menjadi ikon saat Pengucapan Syukur. Bagi masyarakat Minahasa, tradisi ini bukanlah beban, melainkan bentuk syukur yang tulus. Selain hasil panen, mereka juga bersyukur atas rahmat Tuhan yang terus memberikan kesehatan dan kekuatan.

Meski pengucapan syukur seringkali melibatkan pengeluaran besar, bahkan hingga menghabiskan penghasilan setahun, bagi masyarakat Minahasa, kebahagiaan dan rasa syukur jauh lebih berharga. Tradisi ini menjadi momen penting untuk mempererat hubungan sosial antara warga, gereja, dan keluarga.