Orang yang Selalu Buka Banyak Tab Browser Punya 9 Kebiasaan Kacau Ini

Zona Kreasi
Pukul 02.47 dini hari, sebuah laptop tiba-tiba mati secara dramatis. Bukan karena virus atau kerusakan sistem, melainkan karena terlalu banyak beban digital—47 tab browser yang terbuka bersamaan. Chrome bahkan sempat menghitungnya, tepat sebelum semuanya membeku. Saat kombinasi Ctrl+Alt+Delete ditekan dengan penuh harap, muncul satu pertanyaan besar yang sering menghantui para penjelajah internet malam hari: kenapa seperti ini, ya?
Setelah laptop reboot, browser kosong sejenak menawarkan harapan baru—lembaran digital yang bersih. Tapi tak butuh waktu lama sebelum semuanya kembali seperti semula. Dalam hitungan jam, tab demi tab kembali bermunculan. Dua belas jam kemudian, semuanya sudah kacau seperti sebelumnya. Dan kalau kamu pernah mengalami hal ini, yakinlah: kamu tidak sendiri.
Menurut sebuah studi, 55 persen orang kesulitan menutup tab. Bahkan, 30 persen di antaranya mengalami apa yang disebut para peneliti sebagai “masalah penimbunan tab”. Tapi menyebutnya "penimbunan" saja terlalu sederhana. Ada sisi psikologis dan eksistensial yang lebih dalam dari sekadar layar yang penuh tab.
Berikut sembilan sifat khas orang dengan puluhan tab browser terbuka setiap saat:
1. Menjadikan tab sebagai otak eksternal
Setiap tab adalah niat. Tab itu bukan hanya halaman web, tapi sebuah pengingat: artikel yang akan dibaca, video yang akan ditonton, topik yang akan dipahami. Meskipun belum dibuka selama tiga minggu, rasanya sayang sekali untuk menutupnya. Tab menjadi seperti memori eksternal yang menyimpan semua versi “kamu yang ideal”—yang suka baca, produktif, dan selalu update.
2. Lumpuh oleh potensi yang mereka ciptakan sendiri
Setiap tab adalah peluang. Peluang untuk belajar coding, memahami kripto, atau mungkin membuat roti. Menutup tab terasa seperti menutup kemungkinan versi dirimu yang lebih baik. Jadi kamu biarkan terbuka. Meskipun tahu, kemungkinan itu mungkin hanya tinggal niat.
3. Kebal terhadap kekacauan visual
Apa yang bagi orang lain terlihat seperti kekacauan total, bagi mereka justru sistem yang terorganisir. Mereka bisa menemukan tab makalah penelitian dari dua minggu lalu tanpa berkedip, hanya dengan mengingat posisi dan favicon-nya. Mata mereka telah terlatih menghadapi kekacauan, dan entah bagaimana, bisa tetap fokus di tengah semua itu.
4. Penjelajah arkeologi penundaan digital
Riwayat tab mereka ibarat fosil gangguan: dari "cara bayar pajak" ke "sejarah pajak kerajaan Inggris", berakhir di "alat penyiksaan abad pertengahan". Ini bukan browsing biasa—ini adalah perjalanan digital yang penuh niat baik, dibajak oleh rasa ingin tahu. Setiap tab adalah jejak ke mana pikiran mereka sempat mengembara.
5. Takut pada akhir yang tak mereka inginkan
Menutup tab terasa terlalu final. Rasanya seperti mengakui bahwa kamu tidak akan pernah membaca artikel itu. Setiap kali mengklik tanda X, ada perasaan kehilangan kecil. Karena tab itu bukan hanya halaman, itu adalah kemungkinan diri yang lebih baik yang mungkin tak akan pernah terwujud.
6. Suka mengoleksi
Bukan cuma satu tab, tapi koleksi tab dalam koleksi tab. Jendela satu untuk kerja. Jendela dua untuk proyek sampingan. Jendela tiga untuk hal-hal random seperti riset apakah meja berdiri benar-benar perlu. Semua mungkin terlihat kacau bagi orang lain, tapi bagi mereka? Ada logikanya. Bahkan warna tab dikelompokkan seperti pelangi penundaan yang rapi.
7. Merasa lega saat semuanya crash
Ketika browser mendadak mogok atau laptop mati, tentu mereka mengeluh. Tapi di balik itu, ada sedikit kelegaan. Crash itu membebaskan mereka dari beban semua “yang harus dilakukan”. Sejenak, hidup terasa ringan. Sampai akhirnya mereka mulai membuka tab baru lagi satu per satu seperti siklus yang tidak pernah berhenti.
8. Punya solusi rumit untuk masalah buatan sendiri
Mereka tahu semua ekstensi pengatur tab: OneTab, Session Buddy, The Great Suspender. Mereka mencoba sistem “maksimal 10 tab”, atau “bersih-bersih setiap Jumat”. Beberapa bahkan punya spreadsheet khusus untuk tab yang harus dibaca kembali. Tapi pada akhirnya, masalahnya bukan tab—masalahnya adalah ketakutan akan kehilangan potensi.
9. Menghakimi diam-diam pengguna 3 tab
Saat melihat orang lain hanya membuka tiga tab—Gmail, dokumen kerja, dan mungkin YouTube—mereka bingung sekaligus iri. Kok bisa hidup sesederhana itu? Di mana artikel random yang mengubah hidup? Di mana perbandingan 17 model headset Bluetooth? Tiga tab terasa seperti dunia paralel. Dunia di mana orang bisa fokus, membuat keputusan, dan... move on. Menyebalkan, tapi juga mengagumkan.
Pada akhirnya, mereka yang membuka 47 tab mungkin terlihat kacau, tapi sebenarnya hanya sedang menjalani versi digital dari “ingin tahu segalanya, ingin jadi segalanya, ingin tidak melewatkan apa pun.” Dan meskipun mereka tahu 80% dari tab itu tak akan pernah dibaca, mereka tetap membiarkannya terbuka. Karena bagi mereka, setiap tab adalah harapan kecil bahwa suatu hari nanti, akan ada waktu untuk membacanya.