Percayalah, Pegawai Bank Masih Ada

Featured Image

Pengalaman Pribadi dengan Layanan Bank dan Teknologi Mobile Banking

Hari sudah melewati pukul satu siang, namun di dalam ruangan ini waktu terasa berjalan sangat lambat. Saya sempat membuka buku meskipun tidak sedang memiliki hasrat untuk membaca. Perasaan saya saat itu sedang resah dan tidak enak.

Malam sebelumnya, ketika mencoba melakukan transaksi melalui aplikasi mobile banking, tiba-tiba saya tidak bisa login ke aplikasi Byond. Padahal password yang saya masukkan benar. Pada percobaan kedua, saya berhasil login, tetapi ketika akan menyelesaikan transaksi dan memasukkan PIN, kembali muncul kendala. Kombinasi angka yang saya masukkan dinyatakan salah. Percobaan kedua dilakukan, hasilnya sama. Akhirnya, akun Byond saya terblokir.

Peristiwa singkat ini membuat saya merasa tidak nyaman. Tidur pun tertunda karena terus-menerus memikirkan apa yang terjadi. Saya berharap ini hanya kendala teknis dan bukan tanda adanya aksi jahil yang mengincar akun mobile banking saya. Itulah harapan saya ketika akhirnya memutuskan untuk tidur.

Hari berganti. Pada hari Kamis (24/7/2025), saya berada di ruangan sebuah kantor bank syariah tempat saya menabung. Saya duduk di bangku sofa tanpa sandaran menghadap meja layanan pelanggan atau customer service.

Saya tidak sendirian di sofa panjang itu. Dua orang ibu di sebelah sedang saling bercerita, sehingga saya bisa sedikit menguping permasalahan mereka dan akhirnya ikut dalam obrolan. Ibu pertama mengeluh bahwa kartu ATM-nya telah kedaluwarsa. Sedangkan ibu kedua mengalami masalah yang lebih rumit. WhatsApp-nya baru saja di-hack, dan ia tidak bisa menggunakan nomor HP miliknya. Nomor tersebut juga terdaftar di mobile banking. Awalnya ia ingin ke Grapari, tapi cemas dengan mobile banking dan tabungannya. Akhirnya ia memutuskan langsung ke kantor bank untuk memeriksa rekening dan mendapatkan solusi terbaik.

Kedua ibu itu dipanggil hampir bersamaan. Mereka diterima di dua meja yang berbeda dan setelah beberapa menit menyelesaikan urusannya, wajah mereka tampak lega. Satu pulang dengan menggenggam kartu ATM yang baru, sementara yang lain telah mendapatkan solusi yang membuat kecemasannya mereda.

Itulah yang diharapkan setiap nasabah ketika datang ke bank dan mengambil antrean untuk menemui layanan pelanggan. Berharap kesulitannya bisa teratasi dan memohon agar hanya kabar baik yang diterimanya dari penjelasan petugas bank.

Giliran antrean saya dipanggil. Di meja nomor satu, petugas layanan pelanggan segera berdiri, memberi salam, dan mempersilakan saya duduk. Ketika kendala yang saya alami disampaikan, ia segera meminta KTP, kartu debit/ATM, dan buku tabungan. Dimulailah serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah saya.

Setelah akun Byond saya yang terblokir pulih, saya sempat bertanya beberapa hal ke petugas layanan pelanggan. Beberapa keterangan berharga saya dapatkan. Di antaranya tentang aplikasi mobile banking atau Byond yang masih dalam tahap pengembangan. Kendala yang dialami nasabah bisa jadi dampak dari pengembangan tersebut. Sayangnya, beberapa kendala masih mengharuskan nasabah datang langsung ke kantor cabang untuk mendapatkan bantuan solusi. Permohonan kartu baru yang sudah tersedia fiturnya di Byond pun kadang belum lancar jika dilakukan melalui aplikasi, sehingga nasabah tetap perlu datang ke kantor cabang untuk menyelesaikan prosesnya.

Seperti kedua ibu sebelumnya, saya meninggalkan meja layanan pelanggan dengan perasaan lega. Sebelum keluar, saya memperhatikan suasana bank yang sibuk siang itu. Antrean layanan pelanggan lumayan banyak. Di teller juga tidak kalah ramai.

Bahkan, tak hanya di meja teller dan layanan pelanggan, kesibukan dijumpai di mana-mana. Dua orang satpam juga sibuk menanyai setiap orang yang baru masuk ke bank. Nampak pula beberapa petugas lain yang mondar-mandir di antara kursi dan sofa ruang tunggu. Mereka menanyai setiap nasabah dan nampak segera mengambil tindakan jika sekiranya permasalahan bisa diatasi saat itu juga tanpa nasabah harus menuju meja layanan pelanggan. Para petugas ini mungkin yang dinamakan mobile customer service.

Melihat suasana yang demikian dan sudah beberapa kali saya amati hal serupa dari setiap kedatangan ke bank, saya mengambil kesimpulan bahwa bank dan pegawai bank masih akan terus eksis selama beberapa waktu lamanya. Prediksi bahwa kantor bank akan segera punah dan pegawai bank akan segera tersingkir digantikan oleh teknologi rasanya belum akan terjadi dalam waktu dekat, setidaknya di Indonesia.

Meski prediksi tentang semakin tidak diperlukannya pegawai bank muncul dari sejumlah pakar dan lembaga bonafid, disertai sejumlah indikasi dan dipercepat oleh perkembangan AI, di Indonesia eksistensi pegawai bank nampaknya akan lebih berumur panjang. Keberadaan petugas teller dan layanan pelanggan masih akan penting dan dibutuhkan.

Satpam-satpam bank yang semakin dibekali keterampilan untuk menjelaskan solusi kepada nasabah, bahkan bisa dengan fasih menjelaskan tentang fitur mobile banking dan cara penggantian kartu melalui mesin otomatis bukan berarti pegawai bank mulai tersisih oleh satpam. Hal itu justru bermakna bahwa fungsi layanan pelanggan telah diperluas ke satpam bank untuk menjawab masih tingginya kebutuhan nasabah terhadap layanan tatap muka secara langsung di bank.

Setidaknya ada dua alasan mengapa pegawai bank belum akan punah dalam waktu dekat. Bahkan meski campur tangan teknologi semakin pesat, keberadaan orang-orang di belakang meja teller dan layanan pelanggan masih amat penting.

Pertama, masyarakat kita masih percaya dan menganggap bahwa datang langsung ke bank, bertemu petugas lebih memberi kepastian. Solusi atau jawaban yang diberikan secara langsung melalui tatap muka di meja layanan pelanggan lebih mendatangkan ketenangan dan keamanan. Saat nasabah kartu ATM-nya tertelan atau lupa PIN mobile banking, maka yang terlintas pertama kali dalam benaknya ialah datang ke bank. Meski beberapa permasalahan telah bisa diperantarai melalui layanan digital, media sosial, dan telepon, tapi beberapa pengalaman menunjukkan justru datang ke bank lebih efektif dibanding harus menunggu telepon tersambung ke call center, mengisi formulir digital, dan sebagainya.

Selain itu, layanan pelanggan jarak jauh yang difasilitasi teknologi dan media sosial di Indonesia rentan masalah baru. Nasabah-nasabah yang melapor melalui media sosial resmi sebuah bank akan diserbu banyak akun-akun palsu yang dikendalikan oleh sindikat penipu. Sialnya, akun-akun palsu sering kali lebih cepat responsnya dibanding layanan bank itu sendiri. Sayangnya lagi, sindikat penipu di ruang digital semacam itu seolah tak bisa diberantas dan hampir selalu ada nasabah yang menjadi korban entah karena ketidaktahuan, kepanikan, atau karena semakin canggihnya para penipu menyamar.

Kenyataan di atas membuat banyak nasabah ragu dan merasa kurang aman dengan fitur atau layanan digital jarak jauh yang disediakan bank. Daripada menanggung risiko tambahan terjebak call center atau layanan WA palsu, lebih baik datang langsung ke bank dan tidak masalah antre agak lama di layanan pelanggan.

Kedua, adopsi dan inovasi teknologi perbankan di Indonesia masih sangat timpang antar satu bank dengan bank lainnya. Saya memiliki rekening di lebih dari satu bank, termasuk bank syariah dan bank umum. Membandingkan keduanya dalam hal inovasi, saya mendapat kesan bahwa bukan hanya masalah cepatnya pelayanan terhadap nasabah yang membedakan. Akan tetapi juga perbedaan kualitas layanan teknologinya yang mencolok.

Ambil contoh, bank syariah tempat saya menabung cukup sering mengalami gangguan layanan yang membuat nasabah kesulitan bertransaksi. Gangguan itu tidak hanya berlangsung dalam hitungan jam. Pernah bank syariah error hingga satu pekan lamanya. Layanan ATM hingga mobile banking tidak bisa digunakan. Nasabah hanya bisa bertransaksi secara terbatas melalui teller. Sialnya, kejadian itu kerap berulang.

Sedangkan di bank lainnya saya pernah mendapatkan pengalaman kurang enak. Saat hendak mengganti kartu ATM di mesin otomatis, ternyata mesin tersebut sedang tidak bisa digunakan. Beberapa hari kemudian saya datang lagi dan menjumpai secarik kertas tertempel di sana yang menyebut mesin masih dalam perbaikan. Akhirnya saya masuk ke kantor bank, antre di layanan pelanggan demi mendapat kartu baru.

Dengan kata lain, penerapan teknologi-teknologi tersebut justru kerap menimbulkan kesulitan baru yang membuat masyarakat masih tetap harus datang ke bank secara langsung untuk menyelesaikan masalahnya.

Artinya, meski inovasi teknologi perbankan di Indonesia semakin maju geraknya, tapi belum sampai pada taraf yang mendekati prediksi banyak pihak bahwa pegawai bank akan segera punah karena masyarakat telah bisa dilayani oleh teknologi. Justru ada kesan kebalikannya. Bahwa inovasi teknologi yang timpang dan belum mantap, ditambah ekosistem digital dan media sosial di Indonesia yang masih rawan, malah membuat keberadaan kantor bank dan pegawai bank semakin diperlukan. Sebab sebagian masalah yang dialami nasabah di Indonesia, pada akhirnya, "menyuruh" saya dan kita semua untuk tetap antre di bank.

Singkat kata, kantor bank dan pegawai bank mungkin semakin kurang dibutuhkan di negara-negara lain. Tapi tidak demikian di Indonesia.