Sandur Manduro: Tari Topeng Jombang yang Bertahan di Era Digital

Warisan Budaya yang Masih Bertahan di Desa Manduro
Di tengah hamparan sawah dan perbukitan yang sunyi di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, terdapat suara bambu yang diketuk, langkah tari yang ditata, serta topeng-topeng tua yang terus menari dalam kesunyian waktu. Di sini, Sandur Manduro masih hidup meski menghadapi tantangan dari zaman yang berubah, kehilangan perhatian masyarakat, dan nyaris terlupakan.
Rifai, seorang pria berusia 43 tahun, berdiri di tengah aula sederhana yang dikelilingi dinding anyaman bambu. Di hadapannya, sejumlah anak-anak kecil mengenakan ikat kepala batik sedang berlatih gerakan tari. Rifai bukan hanya sebagai pelatih, tetapi juga penjaga denyut terakhir dari Sandur Manduro, sebuah warisan seni pertunjukan yang dipercaya telah ada sejak zaman Majapahit.
“Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melanjutkan?” tanyanya dengan penuh keyakinan.
Warisan Leluhur yang Unik
Sandur Manduro bukanlah kesenian biasa. Ia adalah pertunjukan yang menggabungkan unsur tari topeng, musik bambu, serta kisah-kisah kerajaan yang dibawakan dengan narasi khas. Berbeda dengan pertunjukan lain yang sering diiringi gamelan, Sandur Manduro tetap setia pada lima alat musik bambu. Kesederhanaan ini justru menjadi kekuatan utama dari kesenian ini.
“Yang membedakan kami adalah topeng Panji dari Kediri dan musiknya dari bambu. Jika ada yang menggunakan gamelan, itu bukan Sandur Manduro lagi,” jelas Rifai.
Desa Manduro sendiri memiliki keunikan tersendiri. Bahasa Madura digunakan sehari-hari oleh penduduknya, sebuah fenomena linguistik yang jarang ditemui di Kabupaten Jombang yang mayoritas menggunakan bahasa Jawa. Menurut Rifai, ada jejak sejarah tentang pelarian bangsawan Majapahit ke Manduro pada masa Adipati Arya Wiraraja, yang memperkuat dugaan bahwa seni ini memiliki akar peradaban yang panjang.
Dari Panggung ke Pinggiran
Sandur Manduro pernah mencapai puncak kejayaannya. Rifai masih ingat betul ketika pertunjukan ini diundang hampir setiap pekan saat ia kecil di era 1980-an. Namun, perubahan datang. Era televisi dan film VHS mulai menggeser perhatian masyarakat dari panggung-panggung desa.
“Sejak tahun 90-an, kegiatannya mulai sepi. Tidak ada yang mau latihan lagi, anak-anak lebih tertarik menonton video,” kenangnya.
Tidak hanya penonton yang menghilang, generasi penari pun enggan mewarisi. Pada awal 2000-an, Rifai memutuskan untuk mendirikan Sanggar Tari Topeng Sandur Panji Arum, yang kini beranggotakan 21 orang, sebagian besar anak-anak usia sekolah. Perlahan, kesenian yang nyaris mati itu mulai bernapas kembali.
“Sekarang kami latih anak-anak dari PAUD, SD, sampai SMP. Alhamdulillah mereka mulai cinta lagi dengan tari ini,” ujarnya.
Pengakuan Nasional, Harapan Daerah
Usaha Rifai dan kelompoknya tidak sia-sia. Pada 2017, Tari Sandur Manduro ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ia sendiri yang datang ke Jakarta untuk menerima penghargaan tersebut.
Namun, pengakuan nasional belum sepenuhnya disertai dukungan lokal. Rifai masih berharap adanya perhatian yang lebih nyata dari pemerintah daerah.
“Kami butuh panggung, pembinaan rutin, bahkan tempat latihan yang layak. Jika tidak dibantu, generasi berikutnya mungkin tak sanggup meneruskan,” harapnya.
Tegak Berdiri di Tengah Modernisasi
Di tengah modernisasi yang terus melaju, Rifai dan Sandur Manduro berdiri seperti mercusuar kecil di tepian peradaban. Mereka tidak menyerah pada sunyi, tidak tunduk pada zaman. Bagi Rifai, mempertahankan Sandur bukan hanya soal nostalgia, tapi juga menjaga jati diri. Warisan leluhur bukan untuk dipajang, tapi untuk dihidupi, ditarikan, dinyanyikan, dan diwariskan.