Tambora Jakbar Rentan Kebakaran, Damkar Minta Pemberdayaan Warga

Masalah Kebakaran di Tambora dan Upaya Penanganan
Wilayah Tambora, Jakarta Barat, dikenal sebagai salah satu kawasan yang sering mengalami kebakaran. Kejadian ini menjadi permasalahan menahun yang terjadi di DKI Jakarta. Dampak dari kebakaran di pemukiman padat penduduk bisa sangat beragam, mulai dari kerugian ekonomi hingga kehilangan nyawa.
Kasektor Damkar Kecamatan Tambora, Joko Susilo, menjelaskan bahwa hampir seluruh kelurahan di Tambora rawan terhadap kebakaran. Dari 12 kelurahan yang ada, hanya Kelurahan Roa Malaka yang dinilai tidak terlalu rentan. Bahkan di sana hanya tiga RW saja yang sedikit lebih aman.
Lantas, bagaimana cara penanganan kebakaran di pemukiman padat seperti Tambora? Joko menyatakan bahwa solusi utama adalah pemberdayaan masyarakat. Salah satu langkah konkretnya adalah pemanfaatan alat pemadam api ringan (APAR) yang dikelola oleh masyarakat.
"Inventarisasi APAR ini penting karena semua alat memiliki masa berlaku. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeliharaan secara terus-menerus," jelas Joko. Ia juga mendukung program Gempar, yaitu gerakan masyarakat yang memiliki APAR sesuai instruksi Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung.
Menurut Joko, setiap RT seharusnya memiliki dua APAR dan dua relawan. Relawan tersebut disebut Redcar, yaitu anggota masyarakat yang dibina oleh pemadam kebakaran untuk membantu dalam situasi darurat. Meski begitu, keberadaan relawan ini tidak selalu intensif karena mereka bekerja secara sukarela.
Selain itu, penyebaran pos pemadam kebakaran di Tambora masih belum merata. Dari 11 kelurahan, hanya lima yang memiliki pos pemadam. Idealnya, setiap kelurahan harus memiliki pos pemadam agar penanganan kebakaran lebih optimal.
Joko menjelaskan bahwa penyebab kebakaran mayoritas berasal dari masalah kelistrikan. Banyak rumah tua di wilayah ini menggunakan kabel yang sudah usang dan tidak memenuhi standar SNI. Hal ini menjadi ancaman besar yang perlu segera diperbaiki.
Namun, banyak masyarakat yang kurang peduli dengan pengkabelan ulang, sehingga meningkatkan risiko kebakaran. "Ini adalah kelalaian yang menyebabkan kejadian-kejadian buruk seperti kebakaran," ujar Joko.
Sebelumnya, sebuah kebakaran hebat menghanguskan 70 bangunan semi permanen di Jalan Pasar Garuda, Duri Utara, Tambora, Jakarta Barat. Akibatnya, sebanyak 400 jiwa kehilangan tempat tinggal dan kini mengungsi di balai warga.
Sejarah Singkat Tambora
Tambora memiliki sejarah panjang di Jakarta. Wilayah ini dikenal sebagai kampung terpadat di Asia Tenggara dan juga salah satu kawasan yang paling sering mengalami kebakaran. Namun, dalam sejarahnya, Tambora memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi.
Pada abad ke-18, kawasan ini dihuni oleh orang-orang Sumbawa yang mendirikan permukiman di Batavia, tepatnya di sekitar Kali Krukut dan berbatasan dengan Pecinan Glodok. Awalnya, jumlah penduduk mencapai 168 orang pada tahun 1759.
Salah satu ciri khas kawasan ini adalah Masjid Tambora, yang memiliki arsitektur khas Cina dan Arab. Meskipun telah mengalami renovasi besar-besaran pada 1971, beberapa elemen tradisional masih terlihat, seperti empat pilar berbentuk segi delapan dan nisan-nisan kuno yang terbuat dari bahan belanda.
Di kawasan ini juga terdapat dua makam tokoh penting, yaitu Kyai Haji Moestodjib dan Ki Daeng. Mereka diyakini sebagai nenek moyang warga Tambora dan terkait dengan pendirian Masjid Tambora.
Pada tahun 1761, Kyai Haji Moestodjib membangun masjid sebagai bentuk rasa syukur setelah bebas dari tawanan. Setelah ia wafat pada 1836, kepemimpinan masjid berganti beberapa kali hingga akhirnya dipegang oleh warga asli Tambora pada 1950.
Pada 1959, Yayasan Masjid Jami Tambora didirikan untuk mengelola dan merawat masjid hingga saat ini.
Saat ini, Tambora menjadi kecamatan di Jakarta Barat dengan 11 kelurahan. Nama-nama kelurahan unik seperti Roa Malaka, Jembatan Besi, dan Jembatan Lima, mencerminkan sejarah jembatan-jembatan besi yang pernah ada di kawasan ini.