Yayat Sukses Bangun Usaha Hidroponik di Pontianak, Omzet Jutaan Rupiah Per Panen

Perjalanan Awal dan Tantangan dalam Menekuni Pertanian Hidroponik
Di tengah kota Pontianak, Yayat berhasil menemukan jalannya sendiri dalam dunia pertanian hidroponik. Meskipun tidak memiliki latar belakang pertanian, ia memulai perjalanan ini dengan rasa penasaran dan keinginan untuk memanfaatkan lahan pekarangan rumahnya. Pada tahun 2014, ia memulai dengan hanya sedikit pengetahuan tentang bercocok tanam.
“Saya memilih bertani hidroponik karena lebih mudah dan tidak memerlukan lahan yang luas,” ujarnya. “Waktu itu saya belum punya basic bercocok tanam, tapi Alhamdulillah setelah dicoba ternyata berhasil.”
Berawal dari coba-coba menanam di halaman rumah, ia mulai tertarik mendalami teknik hidroponik usai melihat hasil yang cukup menjanjikan dan respons positif dari warganet di media sosial. Komentar-komentar yang menanyakan apakah sayur yang ditanam bisa dibeli menjadi titik awal baginya untuk mengembangkan kegiatan bertaninya menjadi skala usaha.
Dukungan Keluarga dan Kolaborasi Jadi Kunci Awal Usaha
Pada awal usahanya, Yayat mendapat dukungan modal dari keluarga. “Waktu itu belum ada pemasukan, jadi modal awalnya murni dari keluarga.” Ia juga menyebut bahwa seiring berjalannya waktu, banyak teman yang mau kolaborasi dan membantu dari sisi permodalan.
Namun, perjalanan memasarkan produk hidroponik di Pontianak tidaklah mudah. Di awal-awal, masyarakat masih asing dengan konsep sayur hidroponik. Edukasi menjadi bagian penting. “Kami perlu waktu satu hingga tiga tahun untuk mengenalkan keunggulan sayur hidroponik, seperti lebih bersih, sehat, dan bebas pestisida.”
Kini, Yayat rutin menyuplai sayuran ke salah satu mal di Pontianak, restoran-restoran, hingga hotel-hotel. Selada menjadi produk terlaris karena permintaannya tinggi dari restoran Korea, penyedia burger, kebab, dan tempat makan sejenis.
Omzet Capai Jutaan Rupiah per Panen
Dalam 10 hari, Yayat bisa panen sekitar 200 kilogram sayuran. Jika dikalikan Rp30 ribu per kilogram, hasilnya bisa mencapai jutaan rupiah. Selain hasil panen, ia juga mulai menjual perlengkapan hidroponik seperti media tanam, benih, hingga instalasi.
Hal ini dimulai ketika ia membentuk komunitas hidroponik dan mulai membagikan pengetahuan kepada masyarakat. Dari situlah muncul ide untuk menyediakan perlengkapan agar mereka tidak perlu membeli dari luar Kalimantan.
Didukung Tim Kecil dan Anak Magang
Saat ini, Yayat dibantu oleh empat orang pekerja tetap, serta beberapa anak magang. “Kalau ditotal mungkin sekitar lima orang yang aktif membantu di kebun,” ujarnya. Meski begitu, bisnis hidroponik tetap memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya adalah risiko gagal panen.
“Namanya juga tanaman hidup, kadang ada juga yang gagal. Tapi turunnya paling 30–50 persen saja. Yang penting kita tetap konsisten,” ujarnya. Ia juga tak menampik bahwa beberapa rekannya sempat “gulung pipa”, istilah yang digunakan untuk menyebut petani hidroponik yang berhenti karena tak mampu bertahan menghadapi pasang surut usaha hortikultura.
Ciptakan Pasar dan Edukasi Gaya Hidup Sehat
Tantangan terbesar menurut Yayat adalah menciptakan pasar dari nol. “Waktu itu hidroponik masih baru, belum ada pasar. Kita harus edukasi masyarakat dulu bahwa ini sayuran sehat, bersih, dan tidak menggunakan pestisida kimia.” Untuk menjaga kualitas tanpa pestisida, ia harus ekstra dalam pengawasan.
“Pagi dan sore kita kontrol, kalau ada hama langsung kita buang atau musnahkan agar tidak menyebar ke tanaman lain,” jelasnya.
Panen Sesuai Permintaan, Siap Edukasi Petani Baru
Panen dilakukan setiap hari tergantung pesanan (Purchase Order) yang masuk. Yayat pun membuka pintu bagi siapa pun yang ingin belajar hidroponik, baik untuk hobi maupun skala komersil. “Yang penting lokasi tanam harus terkena matahari penuh. Sisanya tinggal belajar soal pemupukan dan pengairan,” pungkasnya.