Akal Imitasi, Cogito, dan Tubuh sebagai Kesadaran
Perkembangan Kecerdasan Buatan dan Konsep Pikiran dalam Filsafat
Artificial Intelligence (AI) kini menjadi topik yang sangat diminati dan dibicarakan di berbagai kalangan. Hampir semua lembaga dan institusi menyelenggarakan seminar atau workshop dengan tema AI. Hal ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya menjadi bagian dari teknologi modern, tetapi juga menjadi salah satu hal yang harus dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
AI, yang sering disebut sebagai "akal imitasi", merupakan hasil dari pengembangan ilmu komputer. Sebagai alat yang lahir dari mesin-mesin komputasi, AI mampu melakukan tugas-tugas yang membutuhkan kemampuan berpikir. Meskipun ia adalah mesin, AI dapat seolah-olah berpikir dalam mengambil keputusan atau membuat kesimpulan berdasarkan data yang diberikan.
Banyak ahli percaya bahwa AI saat ini sudah hampir mirip dengan perilaku manusia. Dalam buku Dunia Pasca Manusia oleh Budi Hartanto, ia menyatakan bahwa AI telah mencapai tingkat kecerdasan yang sangat mendekati manusia. Pertanyaannya adalah, apakah AI benar-benar bisa berpikir mandiri? Jika kita melihat perkembangan saat ini, jawabannya mungkin ya. AI memiliki kemampuan untuk merespons pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, bahkan dalam beberapa kasus, kemampuannya melebihi manusia.
Cogito dan Perubahan Makna Pikiran
Dalam sejarah filsafat, dua konsep utama yang selalu menjadi perhatian para filsuf adalah pikiran dan realitas. Mulai dari Plato hingga Descartes dan para filsuf kontemporer, mereka terus membahas tentang bagaimana pikiran bekerja dan bagaimana realitas dapat dipahami. Dalam jurnal Inovatif Journal of Social Science Research, penulis menyebut bahwa ungkapan Cogito, ergo sum ("Saya berpikir, maka saya ada") oleh Descartes memberikan dampak besar terhadap perkembangan filsafat modern.
Namun, hari ini, konsep Cogito mulai berubah. AI hadir sebagai bentuk baru dari Cogito yang berupa kecerdasan buatan. Kehadiran AI memaksa kita untuk kembali bertanya: apa itu pikiran? Apakah pikiran memerlukan kesadaran, subjektivitas, dan pengalaman kualitatif? Ataukah pikiran hanyalah sekumpulan informasi yang diproses melalui algoritma kompleks?
Perdebatan ini dikenal sebagai the hard problem of consciousness, yang menunjukkan betapa sulitnya memahami pikiran, yang selama ini kita anggap sebagai inti dari keberadaan manusia.
Tubuh sebagai Bentuk Kesadaran
Seorang filsuf sains dan teknologi asal Amerika, Don Ihde, menolak pandangan bahwa tubuh hanya sekadar daging yang membungkus jiwa. Dalam bukunya Bodies in Technology, ia menegaskan bahwa tubuh memiliki peran penting dalam mewujudkan kesadaran. Menurut Ihde, pikiran bukanlah satu-satunya sumber kecerdasan. Ia menjelaskan bahwa melalui metode fenomenologi, pikiran tidak lagi terbatas pada ruang internal, tetapi bisa menembus dunia eksternal.
Kecerdasan, menurut Ihde, bersifat eksternal dan material. Dengan demikian, tubuh menjadi model kecerdasan baru yang berbasis teknis dan praktis.
Tahapan Pengembangan Kecerdasan
Pengalaman menjadi salah satu faktor penting dalam pemerolehan kecerdasan. Hubert L Dreyfus, dalam jurnalnya A Phenomenology of Skill Acquisition as the Basis for a Merleau-Pontian Nonrepresentationalist, menjelaskan lima tahapan dalam proses penguasaan kecerdasan:
- Novice – Pemula yang masih mengikuti instruksi.
- Advanced Beginner – Menggunakan pengalaman dan instruksi sebagai acuan.
- Competent – Keahlian dikuasai melalui pengalaman berulang.
- Proficient – Kemampuan menguasai dan menyelesaikan masalah secara cermat.
- Expertise – Tahap akhir di mana seseorang mampu menyelesaikan masalah secara intuitif dan nonkonseptual.
Tahap ini menunjukkan bahwa pengalaman menjadi kunci dalam pemerolehan kesadaran. Di tahap ini, manusia dianggap sudah mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan karena pengalaman menjadi model utama dalam pembentukan kesadaran.
Dengan demikian, kecerdasan buatan seperti AI tidak hanya sekadar alat, tetapi juga menjadi bagian dari evolusi pemahaman kita tentang pikiran, kesadaran, dan keberadaan manusia.