ARA: Kehidupan yang Bergerak, Merayakan Abad Pramoedya Ananta Toer dengan Gerak Tubuh

Featured Image

Pertunjukan Tari Kontemporer ARA: Menggali Kembali Narasi Larasati

Pertunjukan tari kontemporer yang diberi judul ARA: Chronicle of A Moving akan digelar di Tjap Sahabat, Bandung, Jawa Barat, pada Kamis, 7 Agustus 2025. Pertunjukan ini merupakan bagian dari perayaan seabad Pramoedya Ananta Toer, dengan mengangkat karya sastranya yang berjudul Larasati. Dengan konsep yang unik dan koreografi yang menarik, pertunjukan ini akan menampilkan tujuh penari perempuan yang terlibat dalam proses kreatif selama lima belas bulan.

Proses Kreatif yang Mendalam

ARA adalah sebuah pertunjukan yang dipersembahkan oleh Galuh Pangestri Larashati, seorang koreografer asal Bandung. Ia memilih buku Larasati karena menariknya karakter tokoh tersebut. Meskipun berasal dari fiksi, tokoh Larasati memiliki kehidupan yang penuh tantangan, menghadapi situasi di luar kendali dirinya. Hal ini menjadi inspirasi bagi para penari untuk mengeksplorasi berbagai sudut pandang dan emosi dalam tarian mereka.

Selama proses riset dan latihan, setiap penari diminta untuk meresapi teks Larasati secara mendalam. Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga mencoba memahami makna dan pesan yang terkandung di dalamnya. Proses ini dilakukan secara teratur, dengan pembacaan yang dilakukan secara berjarak agar bisa menghasilkan interpretasi yang lebih kritis dan personal.

Tim Penari yang Terlibat

Dalam pertunjukan ini, Galuh akan tampil bersama enam penari lainnya dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI). Awalnya, ada sepuluh penari yang terlibat, termasuk laki-laki dan perempuan. Namun, beberapa penari laki-laki akhirnya mundur, sehingga hanya enam penari perempuan yang tetap bertahan hingga hari H.

Zen RS, seorang jurnalis sekaligus esais yang memproduseri pertunjukan ini, menjelaskan bahwa tujuan utama dari ARA bukan hanya sekadar menginterpretasikan karya Pram, tetapi juga menginterogasi karyanya sendiri. Menurut Zen, banyak karya Pram yang sudah diadaptasi dalam bentuk teater, film, atau sandiwara, tetapi belum ada yang benar-benar mengkritik dan mengevaluasi karyanya secara langsung.

Mengapa Larasati?

Zen menyebutkan bahwa Larasati adalah sosok penting yang layak dibicarakan kembali. Ia menilai bahwa tokoh ini memiliki orientasi politik yang jelas, yaitu nasionalis dan pro terhadap kemerdekaan. Hal ini berbeda dengan tokoh perempuan dalam karya-karya Pram lainnya. Baginya, Larasati adalah karya yang perlu diperiksa oleh perempuan, dan Galuh adalah pilihan yang tepat untuk mengangkat karya ini melalui seni tari.

Pengalaman Para Penari

Salah satu penari, Wening, mengatakan bahwa ARA memberinya kebebasan untuk menginterpretasikan Larasati secara pribadi. Dengan gerakan tubuhnya, ia bisa menulis ulang narasi tokoh tersebut sesuai dengan perspektif dan perasaannya sendiri. Ini menjadi pengalaman yang sangat berharga, karena ia dapat mengenali tubuhnya dan memahami makna yang terkandung dalam teks tersebut.

Konsep yang Unik dan Berbeda

Pertunjukan ARA akan berbeda dari teks Larasati secara tekstual. Tubuh penari akan menjadi alat untuk menulis dan menyampaikan pesan, sementara suara dan gerakan akan menjadi medium utama dalam penyampaian cerita. Teori yang digunakan dalam pertunjukan ini adalah "tubuh yang menulis", di mana setiap gerakan dan ekspresi dianggap sebagai tulisan yang menggambarkan perasaan dan pemikiran para penari.

Kesimpulan

ARA bukan hanya sekadar pertunjukan tari, tetapi juga sebuah upaya untuk menggali kembali makna dan pesan yang terkandung dalam karya Pram. Melalui koreografi yang kreatif dan proses kreatif yang mendalam, ARA menawarkan perspektif baru tentang Larasati, serta memberikan ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan diri dan memahami dunia melalui seni tari.