CSIS: Kredibilitas ASEAN Diuji Perselisihan Thailand-Kamboja

Konflik Militer Thailand dan Kamboja Menguji Kredibilitas ASEAN
Konflik militer antara Thailand dan Kamboja yang meletus pada hari Kamis, 24 Juli 2025, menjadi ujian berat bagi organisasi ASEAN. Pertempuran bersenjata di perbatasan kedua negara tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga menguji kemampuan ASEAN dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Mekanisme ASEAN yang Tidak Efektif
Menurut peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Andrew Wiguna Mantong, konflik ini menunjukkan kelemahan institusional ASEAN dalam merespons krisis di wilayahnya sendiri. Ia menyebut bahwa hingga saat ini belum ada mekanisme damai yang diaktifkan secara efektif meskipun dua negara anggota ASEAN terlibat dalam bentrokan terbuka.
“Ini mencerminkan kelemahan institusional ASEAN dalam merespons krisis keamanan di dalam wilayahnya sendiri,” kata Andrew saat dihubungi Tempo, Jumat, 25 Juli 2025.
Ia menyoroti pasifnya lembaga-lembaga ASEAN dalam situasi ini. Mekanisme seperti High Council dalam Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC) belum pernah digunakan, sementara Sekretaris Jenderal dan Ketua ASEAN hanya bisa bergerak jika diminta oleh pihak yang bertikai.
Andrew menekankan pentingnya meninjau ulang penerapan prinsip non-intervensi agar lebih fleksibel, sehingga ASEAN tetap relevan sebagai penjaga perdamaian di kawasan. “Jika konflik ini terus dibiarkan tanpa peran aktif ASEAN, kredibilitas prinsip sentralitas ASEAN akan runtuh,” ungkapnya.
Dampak Langsung pada Indonesia
Konflik bersenjata ini tidak lepas dari kepentingan langsung Indonesia. Andrew menyebut, saat ini ada lebih dari 130.000 WNI di Kamboja yang bekerja di sektor-sektor rentan seperti kasino dan platform daring.
“Eskalasi konflik dapat membahayakan keselamatan mereka, baik melalui risiko keamanan fisik maupun ketidakpastian hukum dan sosial di negara tempat mereka bekerja,” ujarnya.
Lebih jauh, Andrew menjelaskan bahwa jika konflik dibiarkan berlarut, kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Cina berpotensi ikut campur dan memperdalam rivalitas di Asia Tenggara. “Dampak ekonomi juga tidak kecil, perdagangan dan investasi bisa terganggu, dan ini ikut merugikan Indonesia,” tambahnya.
Desakan untuk Sikap Tegas dari Indonesia
Andrew juga menilai Indonesia tidak seharusnya bersikap netral secara pasif. Negara seperti Malaysia dan Singapura sudah menyatakan posisi mereka. “Jika Indonesia tidak menunjukkan inisiatif diplomatik, baik secara terbuka maupun tertutup, akan muncul kesan bahwa Indonesia abai atau kehilangan arah kepemimpinan regional,” tuturnya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia pernah memainkan peran konstruktif saat menjadi Ketua ASEAN pada 2011 dalam krisis serupa. “Ketika negara lain sudah bicara, ketidakhadiran suara Indonesia justru menciptakan kekosongan yang bisa dimaknai negatif oleh pihak-pihak luar,” ujarnya.
Korban dan Evakuasi Massal
Berdasarkan laporan terbaru Al Jazeera per Jumat malam, jumlah korban jiwa telah mencapai 15 orang di pihak Thailand dan satu orang di Kamboja. Lebih dari 120.000 orang dievakuasi dari wilayah perbatasan kedua negara.
Thailand melaporkan 14 warga sipil dan satu tentara tewas, serta 30 warga sipil dan 15 tentara terluka. Pemerintah Thailand juga mengungsikan sekitar 100.672 orang dari empat provinsi perbatasan. Di sisi lain, Kamboja mengevakuasi sekitar 20.000 warga dari Provinsi Preah Vihear.
Konflik meletus di wilayah sengketa perbatasan yang sejak lama menjadi titik panas. Kedua pihak saling menyalahkan atas awal mula insiden, yang dalam waktu singkat meningkat dari tembakan senapan ringan menjadi serangan artileri berat.
Thailand bahkan dilaporkan mengerahkan jet tempur F-16 untuk membom wilayah Kamboja, sementara Kamboja meluncurkan roket jarak jauh ke daerah sipil Thailand.
Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja terus memburuk pada hari kedua. Militer kedua negara terlibat saling serang menggunakan artileri berat di sejumlah titik perbatasan. Menurut laporan militer Thailand, serangan terjadi sebelum fajar di Provinsi Ubon Ratchathani dan Surin.
Pihak Thailand juga menyebut bahwa Kamboja menggunakan artileri dan sistem roket BM-21 buatan Rusia dalam serangan balasan.
Perdana Menteri sementara Thailand, Phumtham Wechayachai, mengingatkan bahwa jika kekerasan tak segera dihentikan, konflik ini bisa berkembang menjadi perang terbuka.