Gibran Pernah Pakai Pin One Piece, Kini Bajak Laut Topi Jerami Jadi Sorotan, Ahli: Bukan Penolakan

Featured Image

Bendera Bajak Laut Topi Jerami One Piece Jadi Sorotan di Tengah Peringatan HUT ke-80 RI

Dalam beberapa hari terakhir, pengibaran bendera yang menggambarkan Bajak Laut Topi Jerami Monkey D. Luffy dari serial animasi One Piece menjadi perhatian publik menjelang perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia. Simbol ini tidak hanya dikenal sebagai ikon dari kisah petualangan seorang bajak laut, tetapi juga mulai dianggap sebagai simbol yang memicu perdebatan di kalangan masyarakat.

Bendera Bajak Laut Topi Jerami adalah lambang utama dari kelompok bajak laut dalam serial animasi One Piece. Sebelumnya, lambang ini pernah digunakan oleh Gibran Rakabuming Raka saat kampanye Pilpres 2024 lalu dalam bentuk pin. Saat itu, Gibran mengenakan kemeja biru muda dengan logo One Piece di bagian dada. Kini, pengibaran bendera dengan gambar tersebut dinilai sebagai tindakan yang bisa memecah belah persatuan bangsa.

Makna dan Arti Lambang Bajak Laut Topi Jerami

Lambang Bajak Laut Topi Jerami memiliki makna yang lebih dalam. Seperti bendera-bendera bajak laut pada umumnya, lambang ini bergambar tengkorak manusia dengan silang tulang di belakangnya. Namun, yang membedakan adalah adanya topi jerami di kepala tengkorak tersebut. Menurut situs onepiece.fandom.com, bendera ini biasanya digunakan sebagai tanda peringatan bahaya, tetapi dalam dunia animasi One Piece, bendera ini juga melambangkan kebebasan, keyakinan pribadi, dan persahabatan.

Di beberapa cerita, simbol ini digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan absolut dan penindasan. Beberapa tokoh dalam animasi bahkan menggunakan Jolly Roger untuk menandai wilayah kekuasaan atau memberikan proteksi terhadap wilayah tertentu.

Penggunaan Simbol Oleh Gibran

Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka pernah menggunakan lambang Jolly Roger Topi Jerami selama masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ia menggunakan pin berlambang Jolly Roger Topi Jerami saat mendatangi rumah Presiden Prabowo Subianto di Jakarta Selatan. Meski saat itu lambang tersebut dianggap sebagai ekspresi kebebasan, kini dianggap sebagai tanda pemecah belah bangsa.

Penilaian dari Wakil Ketua DPR-RI

Wakil Ketua DPR-RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece adalah upaya memecah belah persatuan bangsa. Menurutnya, ada indikasi adanya gerakan sistematis yang bertujuan untuk mengganggu keutuhan negara. Ia mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh simbol-simbol yang bisa mengancam persatuan.

Namun, dalam pernyataannya, Dasco juga meminta agar para penggemar One Piece tidak didiskreditkan karena ramai pengibaran Jolly Roger di media sosial. Ia menekankan bahwa bendera Merah Putih harus menjadi simbol utama dalam peringatan Kemerdekaan RI.

Tanggapan dari Pakar Hukum Tata Negara

Prof. Sunny Ummul Firdaus, pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), menanggapi pernyataan anggota DPR yang menyebut pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami sebagai aksi politik. Menurutnya, penilaian semacam itu perlu dianalisis secara hati-hati. Tidak semua tindakan simbolik warga bisa langsung ditafsirkan sebagai aksi politik atau pembangkangan terhadap konstitusi.

Menurut Prof. Sunny, pengibaran bendera tersebut lebih tepat dibaca sebagai ekspresi heroisme imajinatif ketimbang pernyataan politik. Ia menilai kemungkinan besar, para pengibar bendera tidak sedang melawan pemerintah, tetapi sedang menyampaikan nilai-nilai seperti keberanian, solidaritas, dan hasrat hidup bebas.

Harapan untuk Pendekatan yang Lebih Inklusif

Prof. Sunny juga meminta pemerintah untuk tidak bersikap reaktif dan mudah menggeneralisir ekspresi rakyat sebagai ancaman. Ia menilai bahwa simbol-simbol yang muncul dari akar rumput justru bisa menjadi jendela untuk memahami aspirasi yang tersembunyi.

“Negara sebaiknya merespons ini dengan pendekatan kultural, bukan stigmatisasi. Ajak mereka berdialog: mengapa mereka menyukai tokoh Luffy? Apa makna simbol bajak laut dalam keseharian mereka?” ujarnya.

Menurutnya, pesan-pesan semacam itu justru mengandung nilai-nilai Pancasila. “Jika ditafsirkan dengan empati, ekspresi semacam ini sangat Pancasilais. Negara harus mampu mendengarkan, bukan menghakimi,” katanya.