Haidar Alwi: Logam Tanah Jarang, Kunci Indonesia Menuju Teknologi Mandiri

Kekayaan Tanah yang Masih Terabaikan
R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa dalam bentuk logam tanah jarang (rare earth elements/REE). Namun, hingga kini, negara ini belum mampu memanfaatkannya secara optimal untuk mencapai kedaulatan teknologi nasional. Di tengah pergeseran global menuju energi bersih dan industri modern, REE tidak hanya menjadi komoditas tambang, tetapi juga menjadi kunci penting untuk masa depan bangsa.
“Jangan kita jual tiket masa depan hanya karena tergiur uang tunai hari ini. Logam tanah jarang bukan hanya milik kita—mereka adalah hak anak cucu kita,” tegas Haidar Alwi. Dunia sedang berlomba-lomba mengakses pasokan REE, dan Indonesia dianggap sebagai salah satu sasaran utama.
Peran Logam Tanah Jarang dalam Teknologi Modern
Logam tanah jarang merupakan komponen penting dalam berbagai perangkat modern seperti baterai kendaraan listrik, turbin angin, chip komputer, satelit, radar, hingga sistem persenjataan canggih. Tanpa REE, dunia digital dan transisi energi bersih akan mengalami gangguan serius. Oleh karena itu, banyak negara besar kini berusaha memperkuat pasokan REE, termasuk dari Indonesia.
Amerika Serikat menjajaki kesepakatan strategis dengan Indonesia untuk suplai REE bebas tarif. India fokus pada investasi besar dalam industri magnet REE dan membuka pintu impor dari negara sahabat. Uni Eropa, melalui Critical Raw Materials Act, menjadikan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai prioritas pasokan strategis. Sementara itu, China masih menjadi pembeli terbesar REE mentah dari kawasan ini secara tidak langsung.
Sayangnya, Indonesia sendiri masih terjebak pada pola lama: eksplorasi lambat, hilirisasi setengah hati, serta ekspor dalam bentuk mentah yang nyaris tanpa nilai tambah. Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 228.K/MB.03/MEM.G/2025, sumber daya REE Indonesia telah tercatat mencapai:
- 136,2 juta ton dalam bentuk bijih, dan
- 118.650 ton dalam bentuk logam.
Angka ini belum mencakup cadangan yang sudah terukur, namun cukup menunjukkan bahwa Indonesia punya peluang besar untuk menjadi pemain utama. “Kalau hanya jadi penyedia bahan mentah, kita akan terus jadi budak teknologi bangsa lain,” ujar Haidar Alwi.
Dari Tambang ke Teknologi: Membangun Rantai Nilai Nasional
Bagi Haidar Alwi, REE tidak boleh hanya dilihat sebagai komoditas tambang biasa. REE harus menjadi pijakan awal membangun ekosistem teknologi nasional. Tidak cukup hanya membangun smelter. Yang dibutuhkan adalah visi dan infrastruktur lengkap dari riset, pemrosesan, hingga industri manufaktur berbasis REE.
“Bayangkan kalau Indonesia memproduksi sendiri magnet permanen untuk kendaraan listrik, radar pertahanan, atau generator turbin angin, semua itu bisa dimulai dari tanah kita sendiri,” kata Haidar Alwi.
Ia mengusulkan dibentuknya:
- Pusat Riset Teknologi REE Nasional, yang melibatkan perguruan tinggi, BUMN, dan koperasi teknologi rakyat.
- Zona Hilirisasi Khusus REE, di mana fasilitas pemisahan, pemurnian, dan manufaktur komponen dilakukan di dalam negeri.
- Regulasi Perlindungan Pasokan Strategis, agar REE tidak diekspor sembarangan, tapi dikembangkan dengan kendali nasional yang kuat.
Lebih dari itu, Haidar Alwi mendorong lahirnya koperasi tambang berbasis teknologi, bukan tambang rakyat manual semata. Dengan teknologi sederhana namun efisien, rakyat dapat memiliki akses langsung ke ekonomi berbasis REE, bukan hanya jadi buruh tambang.
Tiket Masa Depan Itu Jangan Dijual Murah
Di tangan pemimpin yang punya visi jangka panjang, REE bisa menjadi senjata diplomasi, sumber pertumbuhan ekonomi baru, dan pengungkit transformasi pendidikan teknologi. Namun jika salah arah, REE hanya akan menambah panjang daftar komoditas Indonesia yang habis dijual tanpa sempat memberi manfaat berarti bagi rakyatnya.
Menurut Haidar Alwi, kunci keberhasilan terletak pada kesadaran generasi masa kini untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu. REE harus dikenalkan di sekolah, diajarkan di kampus, dan disalurkan dalam program nasional berbasis inovasi anak bangsa.
“Kalau anak-anak kita bisa paham TikTok dan AI, mereka juga bisa paham REE. Tugas kita adalah mempertemukan tanah dengan otak, supaya teknologi masa depan lahir dari Indonesia,” kata Haidar Alwi.
Ia juga menyerukan agar pemerintah membentuk Lembaga Kedaulatan Mineral Strategis, dengan mandat khusus menjaga pengelolaan REE agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Lembaga ini harus berdiri di atas kepentingan nasional, bebas dari mafia tambang, dan berpihak pada rakyat.
“Indonesia bukan negara kecil. Kita besar karena tanah ini kaya. Tapi akan jadi lebih besar kalau generasi mudanya berani bermimpi dan membangunnya sendiri,” tegas Haidar Alwi.
Logam tanah jarang adalah tiket. Tapi bukan untuk dijual. Itu tiket menuju Indonesia yang mandiri secara teknologi, berdaulat dalam kebijakan, dan adil bagi seluruh rakyatnya. Tiket ini tidak boleh ditukar dengan konsesi jangka pendek. Tidak boleh digadaikan demi investasi tanpa transfer teknologi. Dan tidak boleh dikuasai oleh segelintir kelompok yang hanya memikirkan laba, bukan masa depan.
“Kita bisa menjadi bangsa yang menentukan arah teknologi dunia, asal kita punya keberanian untuk berdiri di atas kekayaan sendiri dan membangunnya untuk rakyat sendiri,” pungkas Haidar Alwi.