Indonesia dan AS Sepakat Transfer Data Pribadi, Pakar Siber Soroti Peluang dan Tantangan Kedaulatan Digital

Featured Image

Kesepakatan Data Internasional Indonesia dan Amerika Serikat

Kesepakatan baru antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait mekanisme transfer data pribadi lintas negara menandai babak penting dalam diplomasi digital kedua negara. Dalam pernyataan resmi Gedung Putih, Indonesia disebut akan memberikan kepastian hukum atas arus data ke luar negeri, khususnya menuju AS. Meski terdengar teknis, langkah ini menyimpan dimensi geopolitik yang perlu dicermati secara jeli oleh pemerintah Indonesia.

Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC), Pratama Persadha, menilai bahwa momentum ini seharusnya tidak memicu kekhawatiran, melainkan menjadi peluang strategis bagi Indonesia untuk mempercepat konsolidasi tata kelola data nasional. Terutama dalam konteks memperkuat prinsip kedaulatan digital, yakni hak negara untuk mengatur, melindungi, dan mengendalikan aktivitas digital warganya.

Kunci dari Langkah Ini

Kunci dari langkah tersebut terletak pada pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). UU ini sebenarnya tidak melarang transfer data ke luar negeri, selama negara tujuan memiliki perlindungan setara atau lebih tinggi dari Indonesia. Namun, agar aturan ini bisa berjalan, dibutuhkan dua pilar penting yang hingga kini belum terbentuk: Peraturan Pemerintah (PP) PDP dan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi (LPPDP).

Tanpa dua elemen ini, komitmen Indonesia untuk melindungi hak digital warga akan sulit diwujudkan secara nyata. Hal ini ditegaskan oleh Pratama kepada media. Sementara itu, kekhawatiran tetap ada. Amerika Serikat, misalnya, hingga kini belum memiliki undang-undang perlindungan data federal yang sebanding dengan General Data Protection Regulation (GDPR) milik Uni Eropa.

Risiko dan Peluang

Hal ini menimbulkan risiko besar jika data warga Indonesia diproses oleh perusahaan atau institusi asing di luar kontrol hukum nasional. Namun, menurut Pratama, hal ini justru menjadi peluang bagi Indonesia untuk menjadi pemimpin normatif di kawasan, dengan menyusun standar evaluasi objektif terhadap negara tujuan transfer data.

Jika perlu, Indonesia bisa menandatangani perjanjian bilateral khusus yang menjamin hak-hak digital warga tetap terlindungi, seperti hak untuk menghapus data, diberi notifikasi pelanggaran, dan hak menggugat, meski data disimpan di luar negeri.

Dimensi Geopolitik

Di tingkat geopolitik, Indonesia perlu menjaga posisi strategisnya sebagai negara non-blok digital di tengah rivalitas global antara AS dan Tiongkok. Dengan menjadi jangkar stabilitas digital di kawasan ASEAN, Indonesia berpeluang besar mengangkat isu tata kelola data dalam forum internasional seperti G20, ASEAN Digital Ministers Meeting, dan UN Internet Governance Forum (IGF).

Selain dimensi hukum dan geopolitik, isu transfer data juga berkaitan langsung dengan potensi ekonomi digital nasional. Data pribadi adalah aset penting bagi pengembangan kecerdasan buatan (AI), algoritma, dan teknologi inovatif. Jika tidak dikelola dengan tepat, data hanya akan menjadi "komoditas mentah" yang diekspor murah, lalu dikembalikan dalam bentuk layanan digital berbayar yang dinikmati perusahaan asing.

Pentingnya Regulasi dan Infrastruktur

Negara harus hadir untuk memastikan manfaat ekonomi dari data digital bisa dirasakan oleh masyarakat dan pelaku industri nasional. Pratama menekankan pentingnya penguatan infrastruktur digital, riset teknologi dalam negeri, dan pengembangan talenta digital lokal. Dia menegaskan, transfer data internasional tidak boleh merusak upaya kemandirian teknologi, tetapi justru diarahkan untuk mempercepat alih teknologi dan kolaborasi riset yang memperkuat ekosistem digital Indonesia.

Kesepakatan dengan Amerika Serikat hanyalah permulaan dari perjalanan panjang Indonesia menuju tata kelola data yang berdaulat dan adil. Tugas utama pemerintah saat ini adalah membentuk LPPDP yang independen, mempercepat penyusunan PP PDP, dan merumuskan standar serta perjanjian yang melindungi hak-hak digital warga. Dengan langkah ini, Indonesia tidak hanya menjadi bagian dari arus global digital, tetapi juga bisa menjadi aktor penting dalam membentuk arah masa depan data dunia yang lebih setara dan berkeadilan.