Kantor Keluarga: Drama Harian yang Nyata

Featured Image

Dinamika Kerja Keluarga yang Penuh Drama

Kantor kecil di Semarang yang dikelola oleh keluarga Hartanto menjadi tempat kerja yang penuh dengan dinamika dan konflik. Di dalamnya, Budi (kakak), Siti (adik perempuan), dan Pak Hartanto (ayah) bekerja bersama dalam satu atap. Dari luar, kantor ini terlihat harmonis dan penuh kekeluargaan. Namun, di balik itu, kenyataannya jauh lebih dramatis daripada sinetron.

Pagi hari sering dimulai dengan ketidaknyamanan. Siti datang terlambat karena alasan "mengantar ibu ke dokter". Padahal, ibunya sedang sehat dan memasak di dapur. Ketika Pak Hartanto menegurnya, Siti langsung menjawab dengan nada kesal, "Pak, ini kan kantor keluarga. Saya juga bagian dari keluarga." Suasana kantor langsung canggung, apalagi ada karyawan lain yang menahan tawa.

Masalah mulai muncul saat Budi, yang menjabat sebagai manajer, harus memberikan umpan balik kepada Siti. "Siti, laporan bulan ini banyak kesalahan," kata Budi dengan nada profesional. Siti langsung meledak, "Eh, kamu pikir kamu siapa? Di rumah aja aku nggak takut sama kamu!" Semua karyawan diam seribu bahasa. Bos yang sedang minum kopi hampir tersedak.

Yang lebih parah lagi adalah saat rapat tim. Ketika ada perbedaan pendapat antara Budi dan Siti, debat mereka bisa berlangsung selama satu jam. Mereka saling mengutip cerita masa kecil yang sudah terjadi sepuluh tahun lalu. "Kamu dulu juga pernah salah waktu main boneka!" seru Siti. "Itu beda, itu mainan, ini urusan kantor!" balas Budi. Rekan kerja hanya bisa pasrah dan memesan kopi tambahan.

Masalah eskalasi terjadi ketika Pak Hartanto harus memutuskan siapa yang akan dipromosikan. Budi dan Siti sama-sama pantas, tapi keputusan menjadi rumit karena faktor emosional. Akhirnya, Pak Hartanto memutuskan untuk tidak mempromosikan keduanya, dengan alasan "kita masih butuh kalian berdua di posisi sekarang." Reaksi mereka? Sama-sama marah, tapi alasan protesnya berbeda.

Yang paling lucu adalah ketika klien datang berkunjung. Siti selalu bangga memperkenalkan, "Ini kakak saya, dia sangat kompeten!" tapi begitu klien pergi, dia bisa marah-marahin kakaknya karena salah menyajikan proposal. Budi juga tidak kalah, di depan rekan kerja dia selalu membela adiknya, tapi begitu pulang ke rumah, dia mengeluh panjang lebar ke ibunya.

Konflik puncak terjadi ketika harus ada pemutusan hubungan kerja (PHK) karena krisis finansial. Pak Hartanto bingung, karena semua karyawan adalah kerabat jauh keluarga. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak melakukan PHK, tapi mengurangi jam kerja dan gaji semua karyawan. Ironisnya, keputusan ini diterima dengan lega oleh semua pihak karena "keluarga harus saling membantu dalam masa sulit."

Namun, di balik semua drama ini, ada sisi positif yang tidak bisa diabaikan. Ketika kantor benar-benar kewalahan dengan proyek besar, keluarga Hartanto bisa bekerja lembur hingga larut malam tanpa mengeluh, karena mereka tahu ini untuk kebaikan bersama. Ketika ada karyawan yang sedang mengalami kesulitan pribadi, mereka benar-benar peduli dan saling membantu.

Yang menarik, semua karyawan lama sudah terbiasa dengan dinamika ini. Mereka bahkan membuat grup WhatsApp rahasia bernama "Keluarga Hartanto: Behind The Scene" untuk saling berbagi pengalaman dan cara bertahan hidup. Ada yang sampai membuat "panduan bertahan kerja dengan saudara" yang lengkap dengan kode etik khusus. Ada juga panduan bagaimana memuluskan anak kesayangan jadi pemimpin tanpa protes seluruh pemilik saham atau karyawan.

Kerja bareng saudara bisa menyenangkan dan menyakitkan dalam waktu bersamaan. Tapi yang terpenting adalah menjaga profesionalisme dan tidak membiarkan hubungan keluarga merusak integritas perusahaan. Karena pada akhirnya, perusahaan adalah tempat untuk bekerja, bukan tempat untuk drama keluarga yang tidak perlu.

Dan ya, kantor keluarga Hartanto masih bertahan hingga sekarang, meski dengan beberapa aturan baru: tidak boleh membawa masalah rumah tangga ke meja rapat, tidak boleh menggunakan masa kecil sebagai alat debat, dan yang paling penting - semua keputusan bisnis harus berbasis data, bukan hubungan darah.