Melalui Sambal Cumi, Mahasiswa UB Tanam Harapan di Dapur Nelayan Wates

Featured Image

Kehidupan Nelayan di Desa Wates dan Upaya Meningkatkan Nilai Jual Hasil Tangkapan Laut

Di Desa Wates, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, suara ombak dan aroma laut menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Nelayan setempat terbiasa bangun pagi-pagi untuk melaut, mencari ikan yang menjadi harapan hidup mereka. Salah satu hasil tangkapan yang sering ditemukan adalah cumi-cumi. Namun, sayangnya, banyak dari hasil ini hanya dijual mentah kepada tengkulak tanpa ada pengolahan lebih lanjut.

Mulyo, seorang nelayan berusia 34 tahun, mengungkapkan bahwa ia biasanya menjual hasil tangkapannya langsung kepada pengepul. Ia mengaku bahwa meski memiliki potensi untuk mengolah hasil laut, kebutuhan sehari-hari membuatnya lebih memilih menjual dalam bentuk segar. Pendapatan rata-rata dari hasil melaut sekitar Rp200 ribu per hari, tetapi harus digunakan untuk membeli bahan bakar solar dan kebutuhan lainnya.

Kondisi ini tidak hanya dialami oleh Mulyo, tetapi juga menjadi cerminan nasib para nelayan di kawasan pesisir utara Pasuruan. Meskipun hasil laut melimpah, kehidupan mereka belum sepenuhnya sejahtera. Cumi-cumi yang mereka tangkap setiap hari sering kali hanya dijual dalam kondisi mentah demi mendapatkan uang cepat.

Inisiatif untuk meningkatkan nilai jual hasil laut ini muncul dari sekelompok mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB). Melalui program Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKNT), mereka menggagas pelatihan inovatif dengan fokus pada pengolahan cumi menjadi sambal. Tujuan utama dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat pesisir.

Pelatihan Pengolahan Cumi Menjadi Sambal

Pelatihan dilakukan di Balai Desa Wates, di mana para ibu PKK diajarkan cara memilih cumi segar, membersihkannya secara higienis, hingga meracik sambal yang tahan lama dan lezat. Auliya Nanda Jayanti, salah satu mahasiswa yang bertugas sebagai koordinator pelatihan, mengungkapkan tantangan terbesarnya adalah mengajarkan standar rasa sambal cumi kepada peserta. Beberapa dari mereka bahkan sama sekali tidak mengetahui tentang sambal cumi.

Untuk membantu proses pembelajaran, mahasiswa menggunakan video viral di media sosial sebagai contoh. Selain itu, mereka juga mengajarkan aspek penting seperti pengemasan produk dan pemasaran digital. Aliif Ghibtah Rayya, koordinator KKNT Kelompok 15 Desa Wates, menjelaskan bahwa pelatihan tidak hanya fokus pada teknik pengolahan, tetapi juga pada strategi pemasaran dan branding.

Mahasiswa memberikan tips tentang pemilihan kemasan yang fungsional dan estetis, pentingnya label produk yang informatif, serta strategi harga yang kompetitif. Mereka juga membimbing peserta yang tertarik memanfaatkan media sosial untuk promosi produk.

Antusiasme Peserta dan Dukungan dari PKK Desa

Ketua PKK Desa Wates, Fitri Bela Safitri, menyambut baik pelatihan yang diselenggarakan. Menurutnya, pelatihan ini dirancang secara komprehensif, mulai dari pemilihan cumi segar hingga praktik langsung membuat sambal dan mengemasnya dalam botol kecil. Para peserta mengakui bahwa mereka baru menyadari betapa pentingnya kemasan dan promosi di media sosial.

Antusiasme peserta sangat tinggi selama pelatihan. Suasana penuh semangat dengan diskusi aktif dan tawa yang mengiringi praktik memasak. Salah satu peserta mengungkapkan bahwa rasanya enak, mudah dibuat, dan bisa menjadi usaha rumahan yang menjanjikan.

Mulyo, sang suami, mengungkapkan optimisme bahwa jika istri bisa membuat sambal dan menjualnya, maka akan menjadi tambahan penghasilan. Ia mengakui bahwa meski butuh keberanian, pelatihan ini memberinya harapan baru.

Melalui kegiatan ini, mahasiswa UB tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menyalakan semangat. Dari laut ke dapur, dari dapur ke harapan, sambal cumi menjadi simbol kecil dari perubahan besar yang sedang tumbuh di Desa Wates.