Mengapa Revitalisasi Sungai Citarum Selalu Gagal?

Perubahan Paradigma dalam Pengelolaan Sungai Citarum
Proyek penelitian kolaboratif yang diberi nama Citarum Action Research Project (CARP) menyoroti pentingnya perubahan paradigma dalam pengelolaan Sungai Citarum. Hasil riset ini menunjukkan bahwa upaya revitalisasi selama hampir satu generasi masih belum berhasil mengatasi pencemaran yang terjadi di sungai tersebut.
Proyek ini melibatkan para peneliti dari berbagai institusi, termasuk Universitas Indonesia, Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan, Black Soldier Fly (BSF), IPPIN–CSIRO, dan Monash University. Wilayah riset CARP berada di aliran Sungai Citarik sepanjang 2,3 kilometer yang melintasi Desa Padamukti dan Desa Cibodas, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung.
Dalam laporannya, tim CARP menyebutkan bahwa meskipun ada usaha untuk merevitalisasi Sungai Citarum, kondisi lingkungan masih sangat memprihatinkan. Penyebab utamanya adalah kegagalan tata kelola, pendekatan teknis yang mendominasi, serta kurangnya pemahaman terhadap aspek sosial dan kelembagaan. Masalah ini mencakup berbagai jenis pencemaran, mulai dari limbah industri, rumah tangga, peternakan, hingga perikanan. Selain itu, kerusakan mangrove, pembukaan lahan, banjir, dan sedimentasi juga menjadi tantangan besar.
Masalah-masalah ini diyakini berasal dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Meski pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum, kebijakan ini dinilai tidak efektif karena pendekatannya bersifat top-down dan tidak sesuai dengan struktur otonomi daerah di Indonesia.
Laporan CARP menyebutkan bahwa peraturan ini dibuat dengan paradigma lama yang fokus pada aspek teknis, tanpa mempertimbangkan tata kelola pemerintahan dan aspek sosial. Akibatnya, kinerja Satgas Citarum yang dibentuk melalui perpres tersebut tidak optimal. Indeks Kualitas Air (IKA) Citarum hanya meningkat sedikit dari 50,78 pada 2023 menjadi 51,05 pada 2024. Target pemerintah untuk IKA mencapai 60 poin pada akhir 2025 masih jauh dari realisasi.
Saat ini, pemerintahan Presiden Prabowo tidak memperpanjang keberadaan Satgas dan Koramil Citarum. Mandat satgas berakhir pada 31 Maret 2025. Kini, seluruh tanggung jawab revitalisasi Sungai Citarum dikembalikan kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
CARP, yang didukung oleh platform pengetahuan dan inovasi KONEKSI, mencoba menghadirkan pendekatan baru yang langsung berdampak pada masyarakat. Paradigma pertama yang digunakan adalah kemitraan multidisiplin ilmu. Kedua, place-based approach, yang menekankan pentingnya penyesuaian teori atau konsep dari luar negeri sesuai dengan kondisi lokal.
Reni Suwarso, dosen FISIP Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa CARP menekankan pentingnya mengaitkan proyek-proyek berbasis desa dengan dampak ekonomi. Inilah yang disebut sebagai paradigma ketiga. Proyek-proyek di desa harus memberikan manfaat ekonomi dan membuka kesempatan bagi kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi regulasi, hasil penelitian CARP menunjukkan bahwa beberapa peraturan perlu ditinjau ulang agar revitalisasi Citarum bisa memberi dampak nyata. Termasuk di dalamnya adalah UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis, serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Model bisnis Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R) juga dinilai perlu direvisi karena kesulitan finansial dan ketidakseimbangan daya saing dengan perusahaan pengelola sampah yang berorientasi profit. Para peneliti merekomendasikan perlunya perencanaan dan desain sistem pengelolaan sampah yang sesuai dengan kebutuhan lokal serta peningkatan koordinasi lintas pemerintah dan kementerian.
Di tingkat desa, tantangan terbesar adalah minimnya dana operasional dan kapasitas untuk mengelola aset. Hingga saat ini, belum dapat dipastikan apakah rekomendasi yang disusun berdasarkan hasil CARP akan diadopsi. Namun, para peneliti menegaskan bahwa mereka telah mempresentasikan temuan ini kepada para pengambil keputusan, yang disebut telah memahami pentingnya perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah dan lingkungan.