Pengemudi Ojol Terjebak Sistem, Disarankan Bentuk Koperasi

Solusi Jangka Panjang untuk Kesejahteraan Pengemudi Ojek Online
Pengemudi ojek online (ojol) kini menghadapi berbagai tantangan dalam menjalani pekerjaan mereka. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh lembaga Next Policy, kondisi ini menunjukkan bahwa para pengemudi tidak lagi hanya menjalani pekerjaan sambilan, tetapi telah bergantung sepenuhnya pada profesi ini sebagai sumber pendapatan utama. Namun, situasi kerja yang mereka alami dinilai rentan terhadap pendapatan rendah dan jam kerja berlebihan.
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menyatakan bahwa hampir 90 persen pengemudi ojol memandang pekerjaan ini sebagai mata pencaharian utama. Sayangnya, sistem kerja yang ada justru memberikan tekanan besar bagi mereka. Dalam laporan tersebut, ditemukan bahwa sekitar 75 persen dari pengemudi memiliki penghasilan di bawah Rp 3 juta per bulan, yang lebih rendah dari rata-rata upah minimum nasional. Selain itu, 66 persen pengemudi bekerja lebih dari 40 jam per minggu, dan hampir 23 persen bahkan mencapai 98 jam kerja dalam seminggu tanpa adanya jaminan hari libur.
Pertumbuhan Sektor Ojol yang Mengkhawatirkan
Angka pertumbuhan sektor transportasi daring sangat signifikan. Pada 2024, jumlah pekerja di sektor ini diperkirakan mencapai 2,41 juta orang, meningkat dari 1,49 juta pada 2019. Rata-rata pertumbuhan tahunan mencapai 10,2 persen. Namun, di balik angka ini, banyak pengemudi ojol hidup dalam keterbatasan ekonomi. Sistem digital yang digunakan oleh platform saat ini justru membuat para pengemudi terjebak dalam perang tarif antar aplikator dan kurang mendapatkan jaminan sosial yang layak.
Selain itu, latar belakang pendidikan pengemudi ojol juga menjadi perhatian. Sebagian besar dari mereka memiliki latar belakang pendidikan menengah ke bawah. Data menunjukkan bahwa 56,6 persen adalah lulusan SMA, 18,4 persen lulusan SMP, dan 17,3 persen hanya tamat SD. Dari segi usia, kelompok produktif mendominasi dengan 30,7 persen berusia 30 hingga 40 tahun, 28,8 persen berusia 40 hingga 50 tahun, dan 19,7 persen berusia 20 hingga 30 tahun. Partisipasi perempuan dalam sektor ini masih sangat minim, hanya sekitar 3,57 persen atau sekitar 86 ribu orang dari total pekerja ojol.
Perlu Transformasi Kelembagaan
Melihat kompleksitas masalah yang dihadapi, Yusuf Wibisono menyarankan agar pengemudi ojol membentuk koperasi sebagai solusi jangka panjang. Ia menilai koperasi dapat menjadi alternatif struktur bisnis yang memberi ruang bagi pengemudi untuk memiliki, mengelola, dan mengontrol platform digital secara kolektif. Ia juga mendorong pemerintah untuk mendukung pendirian koperasi ini melalui penyediaan modal awal tanpa skema utang.
Yusuf menegaskan bahwa koperasi pengemudi harus bebas dari beban utang agar benar-benar berpihak pada pekerja. Berbeda dengan koperasi desa yang sering menjaminkan Dana Desa ke bank, koperasi ini harus mampu memberikan manfaat langsung kepada pengemudi.
Digitalisasi yang Memperdalam Ketimpangan
Yusuf juga menyoroti ironi digitalisasi yang justru memperdalam ketimpangan. Ia menilai, alih-alih menciptakan efisiensi dan kesejahteraan, transformasi digital dalam sektor transportasi malah membuka celah eksploitasi terhadap tenaga kerja. Digitalisasi seharusnya menjadi sarana untuk membagi manfaat secara adil, bukan hanya untuk pemilik modal tetapi juga untuk buruh digital.
Isu kesejahteraan pengemudi ojol menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Mereka yang tergabung dalam asosiasi dan komunitas sering kali melakukan demonstrasi untuk menuntut pemerintah agar mengatur kebijakan potongan tarif aplikasi oleh platform agar tidak terlalu besar.
Tuntutan Buruh Digital
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) menyatakan bahwa sejak 2022 potongan platform oleh perusahaan aplikasi selalu di atas 20 persen dan belum pernah mendapat sanksi dari pemerintah. Bahkan dalam banyak kasus, pengemudi hanya menerima sebagian kecil dari pembayaran konsumen. Contohnya, ketika konsumen membayar Rp 18.000 untuk pesan makanan, pengemudi hanya mendapatkan Rp 5.200. Potongan bisa mencapai 70 persen, yang dianggap sangat tidak adil.
Lily Pujiati, Ketua SPAI, mengatakan hal ini terjadi karena tidak adanya regulasi pemerintah terkait tarif pengantaran makanan dan minuman. Penetapan tarif sepenuhnya diserahkan kepada platform, yang kemudian menciptakan monopoli dan penetapan harga yang dianggap sewenang-wenang, baik terhadap pengemudi maupun konsumen.
Beban Operasional yang Menyulitkan
Tingginya potongan juga tidak sebanding dengan beban operasional yang harus ditanggung pengemudi. Pengemudi harus menanggung sendiri seluruh biaya operasional harian, termasuk bahan bakar, pulsa, paket data, parkir, cicilan kendaraan, suku cadang, dan atribut kerja seperti helm dan jaket. Total beban operasional ini bisa mencapai Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per hari. Platform tidak menanggung satu rupiah pun biaya operasional. Semua ditanggung oleh pengemudi.
Dalam aksi yang diikuti ribuan pengemudi ojol di kawasan patung kuda, Jakarta Pusat, Senin, 21 Juli 2025, SPAI juga menolak berbagai skema insentif dan program dalam aplikasi yang dianggap diskriminatif dan merugikan pengemudi, seperti skema hemat, aceng (argo goceng), slot, hub, comfort, premium, hingga prioritas. Skema tersebut, menurut Lily, berkontribusi besar terhadap penurunan pendapatan pengemudi. Potongan bisa antara Rp 3.000 sampai Rp 20.000. Ini jelas menurunkan kesejahteraan pengemudi.