Penyanyi Lokal Banjarmasin Protes Penerapan Royalti Lagu di Tempat Hiburan

Penyanyi Lokal Kalimantan Selatan Menentang Kewajiban Royalti Lagu di Tempat Hiburan
Beberapa penyanyi lokal di Kalimantan Selatan menyampaikan keberatannya terhadap penerapan kewajiban pembayaran royalti lagu di tempat hiburan seperti kafe dan restoran. Mereka menilai kebijakan ini tidak sebanding dengan kondisi penghasilan musisi lokal dan berpotensi mematikan ruang hiburan rakyat.
Salah satu penyanyi lokal Banua, Marissaericha, mengatakan bahwa penerapan royalti secara ketat pada kafe dan restoran justru bisa memberatkan pelaku usaha dan musisi. Ia menilai bahwa jika hanya memutar lagu untuk hiburan di tempat publik, bukan untuk dikomersialkan, seharusnya tidak dikenakan royalti.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar penarikan royalti difokuskan kepada kreator konten yang mengunggah cover lagu untuk keperluan monetisasi, seperti di kanal YouTube, tanpa izin dari pencipta aslinya. “Mereka justru mendapat keuntungan besar dari karya orang lain,” ujarnya.
Senada dengan pendapat tersebut, penyanyi reguler di berbagai pub dan klub di Banjarmasin, Annisa Chaca (27), juga menyampaikan keberatannya terhadap kebijakan ini. Ia menilai kebijakan ini tidak mempertimbangkan realita penghasilan musisi lokal. “Honor kami sebagai penyanyi cafe seringkali hanya ratusan ribu per malam, kalau harus bayar royalti dari penghasilan itu, bagaimana kami bisa bertahan?” tanyanya.
Chaca menyebut kemungkinan akan beralih membawakan lagu-lagu Barat jika aturan ini benar-benar diterapkan. “Tapi apakah semua orang suka lagu Barat? Musik lokal bisa terpinggirkan,” tambahnya.
Sementara itu, penyanyi lokal Rudy menyarankan agar mekanisme royalti dimasukkan dalam sistem pajak yang sudah ada, seperti PPN dan PPh, agar pelaku usaha tak terbebani dua kali. “Royalti bisa saja diintegrasikan dalam pajak, lalu pemerintah yang menyalurkannya ke pencipta lagu,” saran Rudy.
Pernyataan serupa juga datang dari Robby, musisi lokal lainnya, yang menyatakan kelonggaran jika lagu ciptaannya dinyanyikan tanpa royalti. “Kalau lagu saya, silakan dibawakan, tidak perlu royalti,” tegasnya.
Adiyaksa, penyanyi lain, menambahkan bahwa lagu yang dibawakan di ruang publik juga bisa menjadi sarana promosi organik bagi pencipta lagu. “Kalau pencipta lagunya cuma fokus cari uang, nanti orang-orang takut menyanyikan lagu itu. Musik akan kehilangan nilai seninya,” katanya.
Para musisi berharap pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih fleksibel dan adil.
Jalan Tengah dalam Implementasi Royalti
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pembayaran royalti bagi pelaku usaha komersial seperti kafe kembali menuai sorotan. Pengamat Kebijakan Publik dari FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Taufik Arbain, menilai regulasi tersebut perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan, terutama bagi pelaku usaha kecil.
Menurut Taufik, meskipun aturan tentang royalti sudah diatur dalam ketentuan pemerintah, implementasinya perlu mempertimbangkan posisi kafe dan usaha kecil sebagai ujung tombak dalam mempopulerkan karya-karya musik anak bangsa. “Kita harus pahami, banyak kafe kecil justru berperan besar dalam memperkenalkan dan memopulerkan lagu-lagu Indonesia. Mereka adalah etalase alami musik lokal di ruang publik,” ujarnya.
Taufik mengingatkan, apabila regulasi diterapkan terlalu ketat tanpa ruang kompromi, bukan tidak mungkin pemilik kafe akan memilih memutar lagu-lagu dari luar negeri, seperti lagu Barat atau Korea, karena dianggap lebih mudah dan bebas dari beban royalti. Hal ini, menurutnya, justru berpotensi membuat karya musisi lokal semakin tersisih di negeri sendiri.
“Bayangkan jika kita datang ke kafe, lalu lebih banyak mendengar lagu asing karena pemiliknya khawatir dikenakan royalti untuk lagu lokal. Ini ironis, di tengah seruan untuk mencintai produk dalam negeri,” tandasnya.
Lebih lanjut, Taufik menilai pemerintah perlu menata ulang regulasi dengan melibatkan pelaku usaha secara lebih aktif. Ia mendorong adanya skema kerja sama yang saling menguntungkan antara lembaga pengelola royalti dan pelaku usaha.
Beberapa langkah yang disarankan antara lain, membuka ruang dialog atau petisi dari pelaku usaha terhadap kewajiban royalti, menyusun mekanisme pelaporan penggunaan musik yang efektif dan transparan, memberikan pengecualian atau kelonggaran untuk kafe kecil dan penampil lokal yang berpenghasilan rendah.
“Mohon maaf, honor penyanyi kafe, misalnya, tidak seberapa. Jika mereka juga dikenai beban royalti, ini bisa menekan ruang kreativitas sekaligus mata pencaharian mereka,” ujar Taufik.
Taufik menegaskan, perlindungan terhadap hak cipta musisi memang penting, namun harus diimbangi dengan keberpihakan pada ekosistem yang turut menyebarkan karya mereka ke publik. “Perlu ada jalan tengah. Regulasi harus bisa melindungi hak musisi tanpa mematikan peran kafe dan pelaku usaha kecil sebagai penyambung lidah karya-karya musik lokal,” tutupnya.