Perang Thailand-Kamboja: Akar Masalah, Korban, dan Kondisi WNI di Perbatasan

Konflik Bersenjata di Perbatasan Thailand-Kamboja Memicu Kekacauan
Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja kembali memanas, setelah bentrokan yang terjadi pada hari Kamis (18/7/2025) menewaskan sedikitnya 12 orang dan melukai puluhan lainnya. Ribuan warga sipil juga terpaksa mengungsi ke tempat aman akibat ketegangan yang muncul di sekitar wilayah perbatasan.
Peristiwa ini berawal dari perselisihan terkait status kepemilikan wilayah kuil Prasat Ta Muen Thom, sebuah situs sejarah dari era Kekaisaran Khmer yang terletak di Provinsi Surin, Thailand. Wilayah ini menjadi sumber persengketaan karena kedua negara saling mengklaim sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Selain itu, keberadaan bahasa Khmer yang digunakan oleh sebagian penduduk lokal turut memperumit situasi.
Kronologi Bentrokan
Dalam pertempuran tersebut, militer Thailand menggunakan jet tempur F-16 untuk menyerang target militer di wilayah Kamboja. Salah satu pesawat dikonfirmasi telah melepaskan rudal yang menghancurkan sasaran militer. Wakil Juru Bicara Militer Thailand, Richa Suksuwanon, menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan sesuai rencana.
Namun, Thailand membantah klaim bahwa mereka adalah pihak pertama yang menyerang. Mereka menuding bahwa militer Kamboja lebih dulu meluncurkan roket ke empat provinsi Thailand. Di sisi lain, Kamboja menyangkal tuduhan tersebut dan mengklaim bahwa prajurit Thailand yang lebih dulu menembak di area kuil, sehingga mereka terpaksa membalas serangan.
Akar Masalah Perselisihan
Sengketa wilayah antara Thailand dan Kamboja telah berlangsung selama beberapa dekade. Perselisihan terbaru dipicu oleh status kepemilikan kuil Prasat Ta Muen Thom, yang menjadi titik panas karena hubungan budaya dan sejarah yang erat antara kedua negara. Peta buatan kolonial Perancis tahun 1907 yang digunakan sebagai acuan oleh Kamboja juga menjadi sumber ketidakpuasan bagi Thailand, yang menilai peta tersebut tidak akurat.
Tensi politik dalam negeri pun ikut memperkeruh suasana. Pada awal Juli, Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra diskors oleh pengadilan setelah isi percakapannya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, bocor ke publik. Dalam rekaman tersebut, Paetongtarn dinilai terlalu akrab dan merendahkan militer Thailand, memicu gelombang protes nasionalis di Bangkok.
Korban Jiwa dan Pengungsian Massal
Menurut laporan Kementerian Kesehatan Thailand, sebanyak 11 warga sipil dan satu tentara Thailand tewas akibat serangan roket dan baku tembak. Di antara korban sipil, terdapat seorang anak berusia lima tahun. Selain itu, 24 warga sipil dan 7 tentara dilaporkan mengalami luka-luka. Ribuan penduduk di wilayah perbatasan telah mengungsi, termasuk dari provinsi Surin, Sisaket, dan Buriram.
Pihak Kamboja belum merilis jumlah korban dari pihak mereka. Namun, pemerintah setempat mengakui beberapa fasilitas militer terkena serangan udara dari jet tempur Thailand. Phumtham Wechayachai, Perdana Menteri Thailand sementara, menyatakan bahwa senjata berat telah ditembakkan ke wilayah Kamboja tanpa target jelas, menyebabkan kematian warga sipil.
Kondisi Warga Negara Indonesia di Perbatasan
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok mengonfirmasi bahwa terdapat 15 WNI yang berada di sekitar perbatasan Thailand-Kamboja. Mereka tersebar di kota Trat, Sa Kaeo, dan Ubon Ratchathani. KBRI menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada informasi mengenai adanya WNI yang terdampak.
Meski demikian, KBRI mengimbau seluruh WNI di wilayah tersebut untuk mencermati kondisi keamanan dari sumber resmi dan mengikuti instruksi otoritas setempat. Mereka diminta menghindari perjalanan ke daerah perbatasan dan menghubungi hotline darurat KBRI Bangkok.
Bagi WNI yang menetap lebih dari enam bulan di Thailand maupun Kamboja, KBRI Bangkok mengimbau untuk melapor diri melalui portal Kemlu.
Ke Mana Arah Konflik?
Hingga kini, bentrokan masih berlangsung di setidaknya enam titik perbatasan. Belum ada sinyal kuat dari kedua belah pihak untuk menurunkan eskalasi. Menurut pengamat politik dan jurnalis senior Thailand, Pravit Rojanaphruk, militer Thailand tampaknya mengambil keputusan tanpa koordinasi penuh dengan pemerintah sipil.
“Seolah-olah ini bukan lagi keputusan politik. Militer bertindak sendiri. Situasinya sangat sensitif dan berbahaya,” ujarnya kepada Khaosod English.