Petani Cirebon Kehilangan 50 Persen Hasil Akibat Hama dan Virus Misterius

Penurunan Produksi Padi di Kabupaten Cirebon
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menghadapi penurunan hasil panen pada Musim Tanam Satu (MT1) tahun 2025. Dinas Pertanian setempat mencatat bahwa rata-rata penurunan produksi mencapai 30 persen, sementara sebagian kecil petani mengalami kerugian hingga 50 persen. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Deni Nurcahya, menjelaskan bahwa penurunan ini terjadi secara merata di berbagai wilayah, meskipun tidak semua petani mengalami dampak yang sama.
"Ada penurunan produksi per satu bahu atau satu hektar sampai 50 persen, tapi sangat kecil sekali, hanya beberapa petani saja. Sebagian besar penurunan berkisar di angka 30 persen," ujar Deni saat ditemui di kantornya. Ia menambahkan bahwa penurunan terbesar tercatat di Kecamatan Gegesik, khususnya di Desa Jagapura Lor. Hal ini menjadi perhatian pihak terkait, terutama dalam rangka memenuhi target swasembada pangan.
Pihak dinas bersama pemerintah pusat melakukan kajian bersama kelompok tani setempat untuk mengetahui penyebab penurunan produksi. Kelompok tani menyebutkan bahwa penurunan ini baru terjadi setelah bertahun-tahun bertani. Dugaan sementara menyebutkan bahwa penurunan disebabkan oleh hama, tikus, dan virus yang belum teridentifikasi. Salah satu ciri yang muncul adalah batang padi yang kembali tegak menjelang panen, padahal seharusnya merunduk sebagai tanda siap dipanen.
Produksi Gabah Kering Giling (GKG) Kecamatan Gegesik pada MT1 Januari–Juni 2025 tercatat 23.985 ton dari luas panen 4.174 hektar. Sedangkan pada periode yang sama tahun 2024, produksi mencapai 30.504 ton dengan luas panen 4.773 hektar. Ada penurunan sekitar 6.519 ton dibanding periode yang sama di tahun kemarin. Ini jelas turun karena luas lahan panen pun turun sekitar 599 hektar, dan tentu juga faktor lainnya.
Penurunan juga terlihat secara kabupaten. Produksi GKG MT1 Kabupaten Cirebon pada Januari–Juni 2025 tercatat 271.558 ton dari luas panen 43.905 hektare. Sementara pada periode yang sama tahun 2024, produksinya mencapai 285.465 ton dari 46.158 hektare lahan. Menurut Deni, penurunan produksi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama anomali cuaca yang menyebabkan gangguan ekosistem dan pertumbuhan padi. Gangguan ini tidak tampak seperti serangan hama pada umumnya.
Meski produksi menurun, Deni menyebut petani masih tertolong oleh kenaikan harga jual gabah. Pada MT1 2024, harga gabah sekitar Rp 5.000 per kilogram, sedangkan pada MT1 2025 naik menjadi Rp 8.000 per kilogram. "Kami tetap berkoordinasi dengan kelompok tani, kepala desa, dan semua pihak untuk memulihkan hasil panen ke depan," tambah Deni.
Sementara itu, petani asal Desa Gegesik, Dedi Abas, mengaku mengalami kerugian besar. Ia menggarap lahan seluas dua bahu atau sekitar 14.000 meter persegi, namun hasil panennya turun drastis. "Rugi. Sekarang rugi total. Rata-rata kerugian gagal panen itu 50 sampai 70 persen. Masalahnya hama, tapi tak terlihat, jadi ini serangan hama (virus) parah, bukan saya saja, sawah lain juga sama," ujar Dedi.
Dedi menyebut dari lahan satu bahu, ia biasanya panen 4–5 ton gabah basah. Namun kali ini, hanya mendapat sekitar 2 ton. Ia juga menyampaikan bahwa pabrik penggilingan padi ikut terdampak karena kekurangan pasokan dari petani. Dedi yang juga Ketua Forum Rembug Tani Cirebon dan sekitarnya menambahkan, banyak petani di wilayah Gegesik mengalami kerugian serupa akibat turunnya produksi pada musim panen kali ini.