RI Disebut Tertinggal dari Kenya hingga Vietnam dalam Pengaturan WhatsApp

Featured Image

Kedaulatan Digital Indonesia yang Tertinggal

Di tengah pertumbuhan pesat layanan over the top (OTT) seperti WhatsApp, Netflix, dan YouTube, pemerintah Indonesia dinilai masih belum mampu mengatur kehadiran platform digital global dengan efektif. Berbeda dengan negara-negara lain seperti Vietnam, Korea Selatan, dan Uni Eropa, di mana regulasi terhadap OTT sudah lebih matang, Indonesia masih kesulitan menata hubungan antara penyedia layanan digital internasional dan operator telekomunikasi lokal.

Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel), Triana Mulyatsa, menyebutkan bahwa banyak negara telah mengambil langkah konkret dalam mengatur OTT. Contohnya, di Korea Selatan, platform seperti Netflix dikenakan biaya penggunaan jaringan atau network usage fee. Pada 2020, SK Broadband melaporkan peningkatan lalu lintas data Netflix sebesar 24 kali lipat dari Mei 2018 hingga September 2020, yang berarti Netflix harus membayar sekitar US$22,9 juta sebagai biaya penggunaan jaringan.

Di Uni Eropa, platform digital global diwajibkan tunduk pada aturan transparansi algoritma, moderasi konten, dan tanggung jawab sesuai hukum setiap negara anggota. Sementara itu, Vietnam memaksa setiap OTT asing memiliki kantor perwakilan di dalam negeri dan beroperasi di bawah hukum nasional. Di Australia, ada News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code, yang mewajibkan Google dan Meta untuk membayar royalti kepada media lokal.

Di Kenya, pemerintah menerapkan Digital Service Tax (DST) sebesar 1,5% dari pendapatan kotor yang dihasilkan dari layanan digital di wilayah tersebut. Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal dalam hal kedaulatan digital. “Mengapa Indonesia masih membiarkan OTT bebas berbisnis tanpa kontribusi apa pun?” tanya Triana.

Pendapatan Besar Tapi Tidak Ada Kontribusi

Triana menekankan bahwa yang diperjuangkan oleh aparat adalah penataan yang adil, bukan pembatasan akses layanan digital. Platform OTT asing telah lama menikmati pasar Indonesia tanpa berkontribusi terhadap infrastruktur digital nasional. Bahkan, pendapatan mereka sangat besar. Misalnya, Netflix mencatat pendapatan sebesar US$11,08 miliar pada kuartal II/2025, sementara Meta mencapai US$168 miliar pada 2024. YouTube juga meraih pendapatan iklan sebesar US$9,8 miliar pada kuartal II/2025.

Namun, semua pendapatan ini tidak disertai kontribusi pajak atau investasi untuk infrastruktur digital Indonesia. Triana menegaskan bahwa teknologi harus diterima, tetapi keadilan juga penting. “OTT global masuk ke wilayah kita dengan mudah, tanpa menanggung beban jaringan dan layanan universal,” ujarnya.

Infrastruktur Digital yang Terlalu Dimanfaatkan

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Zulfadly Syam, mengakui bahwa infrastruktur digital Indonesia sudah cukup luas. Menurut survei APJII 2024, penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,50%. Namun, ia prihatin karena layanan OTT asing yang memanfaatkan infrastruktur ini tidak memberikan kontribusi berarti, baik dalam bentuk pajak maupun investasi.

Zulfadly menyebutkan bahwa nilai tawar Indonesia terhadap OTT asing masih rendah dibandingkan China, yang mampu melakukan filterisasi dan memaksa OTT asing tunduk pada aturan pemerintahnya. Selain itu, China juga mempersiapkan substitusi layanan OTT asing, sementara di Indonesia justru sebaliknya.

Masalah Investasi dan Kualitas Jaringan

Menurut Zulfadly, fokus utama anggota APJII saat ini adalah meningkatkan pemerataan dan kualitas internet. Saat ini, akses ke OTT asing menjadi salah satu kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi. Namun, jika pemerintah tidak memiliki konsep kuat terhadap OTT, maka operator telekomunikasi hanya akan mempersiapkan jaringan untuk layanan tersebut.

Masalahnya, sumber daya operator seperti frekuensi dan bandwidth terbatas. Untuk memenuhi permintaan akses internet berkualitas dari OTT, anggota APJII harus melakukan investasi besar-besaran. “Kontribusi OTT asing tidak ada, padahal kami terus berusaha memberikan layanan,” keluh Zulfadly. Ia menilai kondisi ini tidak adil bagi para operator telekomunikasi.