Teknologi, Judi Online, dan Kemiskinan

Teknologi Digital: Jembatan atau Ancaman?
Teknologi digital seharusnya menjadi jembatan menuju kemajuan, memperluas akses pendidikan, membuka peluang ekonomi, dan memperkecil jurang ketimpangan. Namun, di balik segala kemudahan yang ditawarkan, teknologi juga membawa ancaman baru yang tak kalah serius, salah satunya adalah judi online. Fenomena ini kini menjadi momok di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Aceh, yang masih menghadapi angka kemiskinan tinggi.
Baru-baru ini, data yang dirilis oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa perputaran uang dari judi online di Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai Rp 1.200 triliun. Angka ini melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang “hanya” Rp 981 triliun. Kejahatan keuangan berbasis teknologi digital, termasuk judi online, kini semakin canggih dengan memanfaatkan aset kripto dan berbagai platform daring.
Di balik angka fantastis tersebut, muncul pertanyaan besar: siapa yang paling dirugikan? Jawabannya, kelompok masyarakat miskin dan rentan. Judi online bukan sekadar hiburan atau pelarian sesaat. Ia telah menjadi lingkaran setan yang memperdalam kemiskinan, merusak tatanan keluarga, dan menggerus masa depan generasi muda.
Di Aceh, provinsi yang dikenal religius dan memiliki aturan ketat terhadap judi, fenomena ini justru tumbuh diam-diam, menjerat banyak orang dalam senyap. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Maret 2025, persentase penduduk miskin di Aceh mencapai 12,33 persen—jauh di atas rata-rata nasional. Di tengah keterbatasan ekonomi, akses internet yang semakin luas justru membuka pintu bagi praktik judi online.
Banyak warga, terutama anak muda, tergoda mencoba peruntungan di dunia maya, berharap bisa mengubah nasib lewat satu klik. Padahal, kenyataannya, harapan itu lebih sering berujung pada kehancuran finansial dan sosial. Sebuah studi di Finlandia yang dilakukan oleh Latvala dkk memberikan gambaran yang sangat relevan untuk konteks Indonesia, khususnya Aceh. Studi tersebut menemukan bahwa masalah judi online lebih umum terjadi pada kelompok masyarakat yang mengalami kerentanan sosial seperti pengangguran, penerima bantuan sosial, pendidikan rendah, dan pendapatan rendah.
Bahkan, hampir sepertiga dari mereka yang mengalami masalah judi adalah penerima tunjangan sosial. Artinya, uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok justru habis di meja judi virtual. Mengapa kelompok miskin lebih rentan? Ketika peluang ekonomi terbatas, judi sering dipandang sebagai "jalan pintas" untuk keluar dari kesulitan. Ilusi kemenangan besar membuat banyak orang rela mempertaruhkan uang terakhirnya, bahkan berutang, demi harapan yang nyaris mustahil.
Kejahatan digital di negara berkembang seperti Indonesia tidak hanya berhenti pada judi online. Dalam era VUCA—Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity—negara-negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam menanggulangi kejahatan digital. Infrastruktur teknologi yang belum matang membuat masyarakat di negara berkembang lebih rentan terhadap serangan siber, kebocoran data, dan pelanggaran privasi.
Di tengah pesatnya digitalisasi, ancaman seperti ransomware, phishing, dan penipuan secara online semakin sering terjadi, menambah beban bagi masyarakat yang sudah rentan secara ekonomi. Teknologi memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan peluang dan kemudahan. Di sisi lain, tanpa regulasi dan literasi digital yang memadai, teknologi justru mempercepat penyebaran praktik-praktik merugikan seperti judi online dan kejahatan siber lainnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, pemerintah dan aparat penegak hukum harus memperkuat regulasi dan menindak tegas praktik judi online, termasuk menutup akses ke situs-situs ilegal dan membongkar jaringan keuangan di baliknya. Dalam konteks ini, Aceh sebagai daerah otonomi khusus harusnya juga punya regulasi khusus untuk memberantas kejahatan siber termasuk judi online.
Kedua, edukasi dan literasi digital harus ditingkatkan, terutama untuk kelompok masyarakat rentan secara ekonomi, agar mereka memahami risiko dan bahaya judi online serta kejahatan digital lainnya. Ketiga, intervensi sosial harus diarahkan pada kelompok rentan seperti penerima bantuan sosial dan pengangguran.
Teknologi seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan alat yang menghancurkan kehidupan. Judi online dan kejahatan digital lainnya adalah ancaman nyata yang memperdalam kemiskinan dan ketimpangan. Sudah saatnya semua pihak—pemerintah dan masyarakat—bersatu melawan bahaya ini, agar teknologi benar-benar menjadi berkah, bukan musibah.