Tuduhan Politik di Balik Vonis Hasto-Tom Lembong, Benarkah Intervensi Penguasa?

Featured Image

Vonis Hukuman untuk Tokoh Nasional dan Isu Politik dalam Peradilan

Proses persidangan terhadap dua tokoh nasional, yaitu mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, telah berakhir. Keduanya menjadi perhatian publik selama beberapa bulan terakhir. Sidang ini menimbulkan berbagai reaksi dan isu terkait dengan politik yang dianggap memengaruhi proses hukum.

Tom Lembong menerima vonis hukuman 4,5 tahun penjara karena terbukti terlibat dalam kasus korupsi impor gula. Sementara itu, satu minggu setelahnya, Hasto dinyatakan bersalah dalam kasus suap terkait pengurusan pergantian antarwaktu anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku. Ia mendapatkan hukuman 3,5 tahun penjara.

Kedua kasus ini memiliki kesamaan dalam hal waktu dan keterkaitan dengan kepentingan politik. Hal ini membuat sejumlah pihak menganggap bahwa kedua tokoh tersebut menjadi korban dari proses hukum yang dipengaruhi oleh faktor politik.

Dugaan Pesanan Politik

Sejak kasus Harun Masiku bergulir, Hasto sering menyebut bahwa perkara yang menjeratnya adalah pesanan politik. Ia tetap bersikukuh bahwa putusan hukum yang diterimanya bukanlah hasil dari proses hukum yang adil, melainkan tindakan yang dilakukan atas dasar kepentingan politik. Ia juga mengklaim bahwa ia sudah mengetahui akan dihukum 3,5 hingga 4 tahun sejak April 2025 lalu.

Hasto menegaskan bahwa ia tidak bisa menghindari kasus hukum yang menimpanya. Ia menyampaikan bahwa hukum digunakan sebagai alat kekuasaan, seperti yang dialami oleh sahabatnya, Tom Lembong. Selain itu, ia menyebut bahwa ada pihak yang ingin mengganggu Kongres PDI Perjuangan melalui kasus ini.

Meskipun demikian, Hasto tetap menerima putusan tersebut dengan kepala tegak. Ia berjanji akan terus melawan ketidakadilan dan berjuang agar cita-cita keadilan sosial bagi rakyat Indonesia tercapai.

Dugaan Kriminalisasi

Perkara yang menjerat Tom Lembong juga memicu dugaan kriminalisasi. Meskipun tidak secara langsung disampaikan oleh Tom Lembong, sejumlah tokoh dan pakar hukum menganggap bahwa kasus impor gula merupakan bentuk peradilan politik.

Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, menyatakan bahwa kasus yang dihadapi Tom Lembong adalah contoh peradilan politik. Menurut Feri, peradilan politik bertujuan untuk membunuh oposisi. Ia menyoroti bahwa dalam kasus ini, jaksa penuntut umum gagal membuktikan niat jahat (mens rea) dari Tom Lembong.

Anies Baswedan, mantan gubernur Jakarta, juga menyatakan bahwa kasus Tom Lembong merupakan kriminalisasi. Ia merasa kecewa dengan putusan hukum yang diberikan kepada Tom Lembong. Ia menegaskan bahwa jika orang sebesar Tom Lembong saja bisa dikriminalisasi, maka bagaimana dengan rakyat biasa?

Penegasan Pengadilan

Setelah muncul banyak kecaman terhadap vonis Tom Lembong, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegaskan bahwa tidak ada intervensi politik dalam proses hukum tersebut. Juru Bicara PN Jakpus, Andi Saputra, menyatakan bahwa majelis hakim tidak terpengaruh oleh tekanan politik atau opini publik. Ia menekankan bahwa putusan dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang objektif.

Sementara itu, dalam sidang vonis Hasto, hakim Sunoto menegaskan independensinya dalam memutus perkara. Ia menyatakan bahwa putusan dibuat berdasarkan alat bukti yang sah, keterangan saksi, barang bukti, dan ketentuan hukum yang berlaku. Hakim menolak semua tekanan dari pihak mana pun, termasuk media, opini publik, atau kelompok tertentu.

Hakim Sunoto juga merujuk pada duplik Hasto, yang menyebut bahwa ia mengalami tekanan politik sejak Agustus 2023. Meski demikian, ia menegaskan bahwa proses hukum tetap dilakukan dengan prinsip keadilan dan hukum.