Dari Lereng ke Pesisir, Sulawesi Berusaha Dekat dengan Negara!

Dinamika Pemekaran Wilayah di Pulau Sulawesi
Pemekaran wilayah di Pulau Sulawesi kembali menjadi topik yang menarik perhatian masyarakat. Dengan perkembangan demografi yang pesat dan kebutuhan pelayanan publik yang semakin merata, upaya untuk membentuk provinsi-provinsi baru dianggap sebagai solusi strategis. Beberapa calon provinsi telah muncul, seperti Luwu Raya, Bolaang Mongondow Raya, hingga Kepulauan Buton, sebagai bagian dari upaya mendekatkan pemerintah kepada masyarakat dan mempercepat pembangunan kawasan timur Indonesia.
Sulawesi memiliki keragaman geografis dan budaya yang luar biasa, namun sering menghadapi ketimpangan dalam pembangunan. Banyak daerah terpencil kesulitan dalam mengakses layanan pemerintahan dari provinsi induk, sementara identitas budaya setempat belum sepenuhnya terakomodasi dalam sistem administrasi yang ada. Oleh karena itu, pemekaran tidak lagi hanya dianggap sebagai ambisi politik, melainkan kebutuhan struktural yang relevan dengan konteks zaman.
Namun, di balik semangat pemekaran, terdapat tantangan serius yang harus dihadapi, seperti risiko birokratisasi berlebihan dan potensi konflik batas wilayah. Untuk itu, pemekaran Sulawesi harus dirancang bukan hanya berdasarkan aspirasi politik, tetapi juga melalui kajian akademik, partisipasi publik, dan visi jangka panjang.
Antara Fragmentasi dan Kesatuan
Salah satu cara memahami urgensi pemekaran di Sulawesi adalah dengan melihat dinamika antara fragmentasi kultural dan kebutuhan akan kesatuan administratif. Setiap wilayah di Sulawesi memiliki identitas dan aspirasi yang kuat, tetapi dalam kerangka provinsi yang besar, suara lokal sering terpinggirkan. Pemekaran kemudian muncul sebagai bentuk penataan ulang, sebuah cara untuk merangkai kembali kepingan-kepingan etnik, sejarah, dan ekonomi dalam format baru yang lebih setara dan fungsional.
Reformulasi Alasan: Bukan Lagi Sekadar Mendekatkan Layanan
Dulu, pemekaran wilayah identik dengan jargon "mendekatkan layanan publik," tetapi kini alasan tersebut mengalami pergeseran. Kini, alasan pemekaran lebih didorong oleh dinamika geopolitik, tekanan perubahan iklim, dan digitalisasi birokrasi. Contohnya, banyak calon provinsi baru seperti Palu Raya atau Poso Raya tidak hanya ingin layanan lebih dekat, tetapi juga ingin membangun ulang narasi pasca-bencana dan pasca-konflik. Begitu pula dengan Kepulauan Buton, yang ingin keluar dari bayang-bayang pembangunan daratan dan membentuk kebijakan berbasis kelautan yang lebih progresif.
Momentum Generasi Muda Lokal
Yang menarik dalam wacana pemekaran kali ini adalah keterlibatan generasi muda lokal. Di berbagai forum diskusi, media sosial, hingga petisi daring, suara anak muda Sulawesi terdengar makin nyaring. Mereka tidak lagi bicara soal pembentukan provinsi sekadar sebagai proyek elite, melainkan sebagai alat pembebasan dari ketimpangan historis dan birokrasi sentralistik. Anak-anak muda Toraja, misalnya, mulai membayangkan sebuah provinsi adat yang mengintegrasikan teknologi, pariwisata berkelanjutan, dan pelestarian budaya. Ini bukan sekadar gagasan romantik, melainkan blueprint sosial-politik yang mulai diadvokasikan secara serius.
Ekspansi Politik dan Keseimbangan Baru di Kawasan Timur
Secara strategis, pemekaran Sulawesi juga akan memengaruhi keseimbangan politik di kawasan timur Indonesia. Dengan lebih banyak provinsi, distribusi dana otonomi khusus dan representasi politik di tingkat nasional akan mengalami perubahan. Ini penting, mengingat selama ini kawasan timur cenderung tertinggal dalam perumusan kebijakan nasional. Dengan munculnya provinsi-provinsi baru, suara kawasan ini di DPR RI, kementerian, maupun lembaga pusat lainnya bisa diperkuat secara struktural.
Aspirasi 10 Provinsi Baru
Beberapa wilayah yang kini disebut sebagai kandidat kuat antara lain:
- Bolaang Mongondow Raya (pemekaran Sulawesi Utara): wilayah dengan identitas kultural tersendiri, merasa terdominasi oleh Minahasa.
- Luwu Raya (pemekaran Sulawesi Selatan): kawasan historis dengan peradaban kuno yang memiliki potensi sumber daya besar.
- Kepulauan Buton (pemekaran Sulawesi Tenggara): daerah kepulauan dengan potensi maritim yang belum tergarap maksimal.
- Mamuju Raya (pemekaran Sulawesi Barat): wilayah pesisir barat dengan sektor pertanian dan perkebunan dominan.
- Palu Raya dan Poso Raya (pemekaran Sulawesi Tengah): dua kawasan strategis yang punya kepentingan rekonstruksi pasca bencana dan pasca konflik.
- Gorontalo Selatan (pemekaran Gorontalo): aspirasi untuk pemerataan pembangunan wilayah selatan provinsi.
- Bone Raya dan Tana Toraja Raya (pemekaran Sulsel): wilayah adat yang ingin memperkuat identitasnya dalam sistem pemerintahan.
- Sulawesi Timur: wacana pemekaran yang mencakup beberapa wilayah lintas provinsi dengan visi kawasan penghubung regional.
Risiko Baru di Balik Harapan
Tentu, tidak ada kebijakan tanpa risiko. Pemekaran wilayah membuka kemungkinan terjadinya pemborosan anggaran, konflik batas wilayah, bahkan politik transaksional di tingkat lokal. Tanpa kontrol yang ketat dan keterlibatan publik yang aktif, pemekaran bisa jadi hanya replikasi dari masalah lama dalam format baru. Lebih dari itu, ada kekhawatiran bahwa pembentukan provinsi baru akan memperparah birokratisasi tanpa meningkatkan kinerja. Maka yang dibutuhkan bukan hanya pemekaran, tetapi reformasi tata kelola yang menyeluruh.
Menuju Desain Ulang Indonesia Timur
Wacana pemekaran Sulawesi membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana Indonesia mendesain ulang sistem kewilayahan di era baru? Bukan hanya tentang pemekaran secara kuantitatif, tetapi tentang membangun sistem pemerintahan yang mampu beradaptasi dengan tantangan zaman: krisis iklim, disrupsi digital, dan tuntutan demokrasi partisipatif. Sulawesi bisa menjadi laboratorium untuk eksperimen administratif masa depan Indonesia.
Pemekaran wilayah di Sulawesi bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru. Ia bukan hanya soal membentuk provinsi, melainkan merangkai ulang mimpi kolektif tentang pemerintahan yang lebih adil, budaya yang lebih dihargai, dan masa depan yang lebih inklusif. Jika dilakukan dengan hati-hati, jujur, dan transparan, maka Sulawesi bukan hanya akan memiliki lebih banyak provinsi, tetapi juga lebih banyak alasan untuk percaya pada masa depan yang lebih baik.