Gelombang Ancaman Pangan Aceh Utara

Gelombang Ancaman Pangan Aceh Utara

Kondisi Ketahanan Pangan di Kabupaten Aceh Utara

Ketahanan dan kedaulatan pangan, khususnya beras, merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup suatu bangsa. Di Indonesia, upaya mencapai swasembada pangan menghadapi berbagai tantangan kompleks seperti perubahan iklim, cuaca ekstrem, alih fungsi lahan, pembangunan infrastruktur, serta peningkatan populasi penduduk. Dalam tulisan ini, saya akan membahas kondisi tanah kelahiran saya, yaitu Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, yang dalam lima tahun terakhir mengalami krisis pertanian, khususnya pada komoditas padi akibat gagal panen karena banjir dan kekeringan.

Aceh Utara memiliki luas wilayah sebesar 2.705,26 km² dengan jumlah penduduk mencapai 641.007 jiwa. Wilayah ini terbagi menjadi 27 kecamatan dan 852 gampong (desa). Secara administratif, Aceh Utara memiliki posisi strategis dengan beragam potensi alam, baik di laut maupun daratan rendah hingga pegunungan. Namun, dalam konteks ini, fokus utama adalah pada potensi pangan di kawasan daratan rendah.

Saat ini, Aceh Utara dikenal sebagai lumbung padi terbesar di Provinsi Aceh, dengan luas lahan sawah mencapai 38.417 hektare. Mayoritas penduduk di wilayah ini bekerja sebagai petani padi dan sangat bergantung pada hasil panen sebagai sumber konsumsi dan penghasilan utama. Namun, dalam lima tahun terakhir, ketahanan pangan di Aceh Utara mulai terancam oleh dua faktor utama: kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan.

Kekeringan terjadi setelah jebolnya Bendungan Irigasi Krueng Pase pada tahun 2020, yang hingga kini belum diperbaiki. Akibatnya, sekitar 11.107 hektare sawah di 9 kecamatan tidak dapat digarap secara optimal. Hasil panen terus menurun setiap tahun, dari 360.353 ton gabah kering giling (GKG) pada 2021, menjadi 323.839 ton (2022), dan hanya 195.577 ton (2023).

Di sisi lain, saat musim hujan tiba, wilayah daratan rendah di Aceh Utara justru dilanda banjir yang terjadi 2–3 kali setiap tahun. Banjir ini merendam 24 kecamatan dan menyebabkan tanaman padi gagal panen akibat fuso, yaitu rusak total karena terendam air selama 4–7 hari. Banjir ini disebut “banjir kiriman” dari kabupaten di dataran tinggi, yaitu Bener Meriah dan Aceh Tengah, karena Aceh Utara secara geografis berada di bawah kedua kabupaten tersebut.

Penyebab utama banjir ini adalah deforestasi yang terjadi di kawasan hulu, khususnya di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Selain itu, pembukaan hutan di Aceh Utara juga meningkat dalam tiga tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Utara menunjukkan laju deforestasi mencapai 666 hektare (2022), 866 hektare (2023), dan 937 hektare (2024).

Selain deforestasi, aktivitas perusahaan perkebunan sawit di Aceh Utara yang menanam sawit di sepanjang sempadan sungai juga memperparah banjir. Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, sempadan sungai harus dijaga sebagai zona lindung, dengan jarak minimal 100 meter dari tepi sungai besar dan 50 meter dari sungai kecil di luar kawasan perkotaan. Pelanggaran ini menyebabkan sedimentasi meningkat, pendangkalan daerah aliran sungai (DAS) semakin cepat, daya tampung air berkurang, dan luapan sungai ke permukiman makin parah.

Selain itu, aktivitas penambangan galian C ilegal juga marak di sepanjang sungai, yang turut mempercepat kerusakan DAS. Kondisi ini semakin memperburuk perekonomian masyarakat Aceh Utara, khususnya para petani yang harus menanggung kerugian hingga jutaan rupiah setiap musim tanam.

Jika 50 persen dari jumlah penduduk Aceh Utara yakni sekitar 320.503 jiwa adalah petani dan mengalami kerugian rata-rata Rp5 juta per tahun, maka total kerugian mencapai Rp1,6 triliun per tahun, atau Rp8 triliun dalam lima tahun terakhir. Akibat gagal panen ini, masyarakat terpaksa harus membeli beras dengan harga yang cukup tinggi, yakni Rp200.000–Rp250.000 per 15 kg.

Permasalahan ini harus segera ditangani. Krisis pangan lokal bukan lagi sekadar ancaman, melainkan kenyataan yang akan kita hadapi dalam 10–20 tahun ke depan. Hal ini berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional serta menggagalkan upaya mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan.

Penanganan masalah ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif semua pihak. Kesadaran kolektif perlu dibangun agar masyarakat tidak hanya mengejar keuntungan dari sawit, sementara kebutuhan pangan harus diimpor dari luar daerah.

Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara perlu segera mengambil langkah nyata sesuai dengan slogan “Aceh Utara Bangkit.” Langkah pertama yang harus diprioritaskan adalah mempercepat pembangunan Bendungan Irigasi Krueng Pase agar pertanian kembali berjalan normal. Selanjutnya, Pemkab perlu rutin berkoordinasi dengan pemerintah provinsi untuk menindak pelaku ilegal di kawasan hutan, menertibkan perusahaan sawit yang melanggar aturan, menindak tambang galian C ilegal, serta gencar mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan demi ketahanan pangan.

Upaya ini harus melibatkan semua elemen masyarakat seperti akademisi, organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan, LSM, media, lembaga adat, perempuan, hingga generasi Z dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pada setiap kebijakan yang berdampak kepada publik. Langkah ini penting untuk mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan, dan Kabupaten Aceh Utara “Bangkit” yang keluar dari kemiskinan.