Kafe dan Restoran di Solo Raya Tak Bisa Putar Lagu Sembarangan, LMKN Jelaskan

Regulasi Baru Pemutaran Musik di Kafe dan Restoran Solo
Bagi pemilik kafe atau restoran di Solo, Jawa Tengah, telah diterapkan regulasi baru terkait pemutaran musik. Namun, hal ini juga menimbulkan perhatian terhadap pembayaran royalti atas penggunaan lagu dalam lingkungan bisnis tersebut. Sejumlah pelaku usaha memilih untuk tidak memutar musik lagi, dan beralih ke suara alam atau kicauan burung guna menghindari kewajiban membayar royalti sesuai aturan Undang-Undang Hak Cipta.
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menanggapi fenomena ini dengan menegaskan bahwa pembayaran royalti bukanlah beban berat yang akan menyebabkan usaha gulung tikar. Ia menekankan bahwa bayar royalti bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, karena itu merupakan bentuk kepatuhan hukum.
Tarif Royalti yang Terjangkau
Dharma menekankan bahwa tarif royalti yang berlaku di Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain. Ia juga menyarankan agar para pelaku usaha tidak mencari celah hukum untuk menghindari kewajiban tersebut. Menurutnya, bayar royalti adalah tindakan patuh pada hukum. Jika ada upaya menghindar, maka bisa saja terkena konsekuensi hukum.
Ia juga menjelaskan bahwa LMKN telah mempertimbangkan kondisi pelaku UMKM dalam menetapkan tarif royalti. Termasuk dalam perhitungan adalah bulan-bulan dengan aktivitas bisnis rendah seperti Ramadan. Dengan demikian, pelaku usaha bisa menggunakan musik sebanyak mungkin tanpa merasa terbebani.
Kasus Mie Gacoan Bali: Direktur Jadi Tersangka
Sebelumnya, terdapat kasus di Bali yang melibatkan restoran Mie Gacoan. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) melaporkan restoran tersebut atas dugaan pelanggaran hak cipta. Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memutar musik tanpa izin dan tidak membayar royalti sejak tahun 2022.
Aturan Resmi Mengenai Tarif Royalti
Tarif royalti untuk restoran dan kafe telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Berdasarkan aturan tersebut, setiap pelaku usaha yang memanfaatkan musik secara komersial wajib membayar:
- Royalti Pencipta: Rp60.000 per kursi per tahun
- Royalti Hak Terkait: Rp60.000 per kursi per tahun
Artinya, satu kursi dalam satu restoran atau kafe dikenai total royalti sebesar Rp120.000 per tahun. LMKN berharap pelaku usaha lebih taat terhadap aturan hak cipta dan tidak memandang pembayaran royalti sebagai beban berlebih.
Apa Itu Royalti Musik dan Bagaimana Aturannya?
Royalti musik kini menjadi isu hangat, terutama bagi pelaku usaha yang memanfaatkan lagu atau musik dalam aktivitas komersial. Secara hukum, royalti merupakan bagian dari hak ekonomi yang sah milik pencipta atau pemegang hak cipta. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, royalti didefinisikan sebagai imbalan atas penggunaan ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta, pemegang hak cipta, maupun pemilik hak terkait seperti pelaku pertunjukan, produser fonogram, dan lembaga penyiaran.
Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa siapa pun yang menggunakan lagu atau musik secara komersial dalam layanan publik wajib membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Layanan Publik Komersial yang Wajib Bayar Royalti
Banyak bentuk usaha yang memutar lagu atau musik secara terbuka dan bersifat komersial wajib membayar royalti. Contohnya:
- Restoran, kafe, pub, bar, diskotek, dan kelab malam
- Seminar dan konferensi berbayar
- Pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut
- Pusat perbelanjaan dan pertokoan
- Bioskop, pameran, dan bazar
- Nada tunggu telepon
- Hotel dan fasilitasnya
- Kantor, bank, pusat rekreasi
- Usaha karaoke
- Lembaga penyiaran televisi dan radio
Setiap pengguna wajib mengajukan permohonan lisensi kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait melalui LMKN, serta membayar royalti sesuai tarif yang ditetapkan. Untuk pelaku UMKM, pemerintah menyediakan keringanan tarif sebagai bentuk dukungan.
Peran LMKN dan Proses Distribusi Royalti
Sebagai lembaga yang membantu pemerintah namun tidak menggunakan dana APBN, LMKN memiliki mandat untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait melalui berbagai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Distribusi dilakukan berdasarkan data pusat lagu dan musik yang tercatat.
Royalti bagi pemegang hak yang belum diketahui atau belum tergabung dalam LMK akan disimpan dan diumumkan. Jika dalam dua tahun tidak diklaim, dana tersebut akan dialihkan sebagai dana cadangan. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas, keuangan dan kinerja LMKN diaudit oleh akuntan publik minimal setahun sekali, dan hasil audit diumumkan kepada masyarakat.