Lagu di Kafe Bayar Royalti Rp 120.000 per Kursi, Suara Alam Juga Dibayar

Featured Image

Kebingungan Aturan Royalti Musik di Tempat Umum

Di tengah munculnya berbagai informasi mengenai aturan royalti musik untuk penggunaan komersial seperti di kafe dan restoran, banyak pelaku usaha yang merasa bingung dan tidak tahu cara menghadapinya. Beberapa bahkan mencoba mengganti musik dengan rekaman suara alam sebagai alternatif, namun ternyata langkah ini juga tidak sepenuhnya bebas dari kewajiban pembayaran.

Salah satu pemilik usaha yang mengalami kesulitan adalah Rifkyanto Putro, pemilik kedai kopi di Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada penjelasan jelas tentang cara pembayaran, tarif pasti, maupun tempat dana harus disetorkan. "Rp 120.000 dikalikan dengan 25 kursi, nah itu baru satu hak cipta atau bagaimana? Yang belum jelas itu kan," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa sejak tahun 2016 ia sudah mengetahui adanya aturan pembayaran royalti untuk pemutaran lagu di tempat umum. Namun, sampai sekarang ia masih belum mendapatkan informasi yang jelas. Akibatnya, ia mempertimbangkan untuk tidak memutar musik sama sekali hingga ada kejelasan lebih lanjut. "Mungkin mulai bulan ini (tidak putar musik)," katanya.

Rifkyanto menambahkan bahwa keputusan ini tidak terlalu berdampak pada konsep usahanya karena sejak awal Wheelsaid Coffee tidak mengandalkan elemen musik. "Dari awal konsep coffee shop enggak ada lagu, jadi flow pembeli cepat," jelasnya.

Suara Alam Tidak Jadi Solusi

Keluhan Rifkyanto bukanlah yang pertama. Banyak pemilik kafe lain juga merasa khawatir, terlebih setelah sebelumnya sebuah restoran di Bali terseret kasus pidana akibat masalah royalti musik. Hal ini membuat beberapa pemilik usaha mencoba mengganti musik dengan suara alam, seperti kicauan burung atau gemericik air, dengan asumsi bahwa hal tersebut tidak memerlukan pembayaran royalti.

Namun, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, memberikan penjelasan bahwa penggunaan suara alam untuk tujuan komersial tetap memiliki hak yang melekat, yaitu hak produser rekaman (fonogram). "Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar," ujarnya.

Dharma menekankan bahwa semua bentuk penggunaan rekaman, baik musik maupun suara alam, tetap memerlukan pembayaran royalti sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ia menyayangkan munculnya narasi bahwa pembayaran royalti memberatkan pelaku usaha. "Harus bayar dong, itu ada hak pencipta. Itu Undang-Undang. Bagaimana kita pakai sebagai menu tapi enggak mau bayar?"

Penjelasan Tentang Hak Produser

Menurut Dharma, ada hak terkait milik produser yang merekam suara tersebut sehingga kewajiban pembayaran tetap ada. Ia juga mengkritik narasi yang seolah-olah kewajiban membayar royalti bertujuan mematikan usaha kecil seperti kafe. "Ada narasi yang sengaja dibangun keliru, seakan-akan (kami) mau mematikan kafe. Itu keliru sekali."

Ia menegaskan bahwa para pelaku usaha harus mematuhi aturan yang berlaku, termasuk dalam hal pembayaran royalti. "Karena dia enggak baca aturannya, enggak baca Undang-Undang. Bahkan belum bayar, udah kembangkan narasi seperti itu," tegas Dharma.

Kesimpulan

Dengan demikian, baik pemutaran lagu ciptaan musisi maupun rekaman suara alam untuk kepentingan komersial sama-sama memiliki kewajiban royalti yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pemilik usaha diminta untuk memahami aturan ini agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman dan risiko hukum.