Mengapa Kita Menghindari Orang dengan Gangguan Jiwa

Featured Image

Mengupas Stigma dan Ketakutan terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa

Ketika seseorang berbicara sendiri di trotoar, bertelanjang dada dengan tatapan yang sulit dibaca, sebagian dari kita cenderung memilih untuk menjauh. Jarak itu tidak hanya fisik, tetapi juga emosional. Ada ketakutan yang sulit dijelaskan, seolah kehadiran mereka mengusik sesuatu dalam diri kita. Artikel ini mengajak kita merenungkan asal-usul jarak tersebut, dan apakah rasa takut itu benar-benar datang dari mereka atau dari cermin yang memantulkan rapuhnya kewarasan kita sendiri.

Hujan deras jatuh di luar jendela. Lampu-lampu kota berpendar seperti bintang yang terjebak di genangan air. Mobil-mobil besar melaju dengan cahaya lampu yang menyilaukan mata. Dari kejauhan, pegunungan menyembunyikan dirinya di balik kabut hujan yang berat. Di tengah suasana ini, ingatan saya melayang pada satu sosok yang pernah saya lihat di sebuah trotoar: bertelanjang dada, celana sebatas lutut, berjalan perlahan sambil bergumam. Tangan kirinya mengais tempat sampah, menemukan sebongkah makanan, lalu memakannya dengan tenang. Orang-orang yang lewat menatap sekilas, lalu segera memalingkan wajah. Ada yang menghindar bahkan sebelum jarak mereka cukup dekat.

Kita sering menyebut orang seperti itu dengan satu kata yang memutus semua percakapan: gila. Sebuah label yang menyederhanakan, bahkan mereduksi, seluruh kompleksitas hidup dan sejarahnya menjadi satu stigma. Lalu kita merasa punya alasan untuk menjauh, membangun jarak aman, mengalihkan tatapan. Tapi saya selalu bertanya dalam hati: apakah yang kita takuti benar-benar dia, atau cermin yang memantulkan kemungkinan bahwa suatu hari kewarasan kita pun bisa retak?

Tatapan adalah bahasa pertama sebelum kata-kata. Namun pada mereka yang kita cap sebagai "orang gila", tatapan sering kali berubah menjadi senjata tak kasatmata. Kita melatih diri untuk berjalan lebih cepat, berbelok sebelum berpapasan, atau menurunkan pandangan. Kita membangun jarak fisik sekaligus jarak emosional, seolah keduanya akan melindungi kita.

Namun jarak ini bukan sekadar respon terhadap potensi bahaya. Ia adalah benteng sosial yang dibangun dari warisan ketakutan kolektif. Di banyak budaya, orang dengan gangguan jiwa digambarkan sebagai ancaman, beban, atau aib keluarga. Kisah-kisah di masa kecil, berita kriminal yang dilebih-lebihkan, hingga bisik-bisik tetangga, semuanya meneguhkan citra bahwa mereka adalah "yang lain" atau manusia yang terhapus dari lingkar kewajaran.

Menariknya, saat kita memilih diam, keheningan itu tidak pernah benar-benar sunyi. Ia adalah diam yang bising, dipenuhi prasangka yang berdesakan di kepala. Kita menafsirkan gerakan mereka, nada suara mereka, bahkan cara mereka menatap, sebagai bukti ketidaknormalan. Padahal, di balik semua itu, mungkin ada cerita kehilangan, trauma yang tak tertangani, atau kesepian yang tak pernah diundang duduk bersama.

Di trotoar itu, saya melihatnya menggenggam sepotong roti sisa dengan tatapan kosong ke arah jalan raya. Mungkin ia sedang berbicara pada seseorang yang sudah tiada. Mungkin ia sedang melawan suara-suara di kepalanya. Tapi kita jarang mau tahu. Kita memilih menyebutnya ancaman, lalu berlalu.

Ketika saya mencoba memeriksa rasa takut itu, saya menemukan sesuatu yang mengejutkan: ketakutan itu sering kali tanpa nama. Kita tidak tahu pasti apa yang mereka akan lakukan, namun pikiran kita sudah mengisi kekosongan itu dengan skenario buruk. Di sini, stigma bekerja seperti bayangan yang membesar di bawah cahaya ketidaktahuan.

Lebih dalam lagi, mungkin ketakutan itu adalah proyeksi. Melihat seseorang yang kehilangan kendali membuat kita diingatkan bahwa kewarasan bukanlah benteng beton, melainkan perahu rapuh di lautan badai kehidupan. Kita takut bukan hanya pada mereka, tetapi juga pada kemungkinan bahwa kita bisa menjadi seperti mereka.

Ketika label gila sudah tersemat, identitas mereka di mata kita seolah lenyap. Kita tidak lagi melihat mereka sebagai anak seseorang, teman sekolah, atau pekerja keras yang pernah memiliki mimpi. Kita hanya melihat fragmen-fragmen perilaku yang tidak kita mengerti. Dan dari situlah, perlahan, mereka menjadi manusia yang terhapus dari peta sosial.

Penghapusan ini bukan hanya terjadi di jalanan, tetapi juga di kebijakan publik. Fasilitas kesehatan mental sering kali kurang memadai, program reintegrasi sosial nyaris tidak terdengar, dan bantuan keluarga terjebak pada stigma yang sama. Akhirnya, banyak dari mereka yang hidup di pinggiran, terperangkap di antara dunia waras dan tak waras tanpa jembatan yang kokoh.

Mungkin langkah awal untuk meruntuhkan stigma adalah mengubah cara kita menatap. Bukan tatapan kasihan yang membuat jarak, melainkan tatapan yang mengakui kemanusiaan. Tatapan yang tidak memaksa kita mengerti seluruh kisah hidupnya, tetapi cukup untuk mengatakan: Aku melihatmu sebagai manusia.

Kita tidak harus selalu mendekat atau memaksakan interaksi. Kadang, cukup dengan tidak memalingkan wajah secara tergesa-gesa, atau tidak ikut menyebarkan cerita yang merendahkan. Kesadaran kecil ini, bila diulang dan dibagikan, bisa menjadi gerakan sosial yang pelan tapi kuat.

Menghapus stigma berarti menjembatani jarak dengan pengetahuan dan empati. Pendidikan tentang kesehatan mental yang inklusif, cerita-cerita yang memanusiakan, dan kebijakan publik yang berpihak bisa mengikis dinding ketakutan kolektif. Namun semua itu bermula dari ruang batin kita sendiri, dari keberanian untuk mengakui bahwa rasa takut kita sering kali bukan berasal dari mereka, melainkan dari bayangan kita sendiri.

Malam ini, hujan masih mengetuk kaca. Di luar sana, entah di trotoar atau di sudut jalan yang basah, mungkin ada seseorang yang sedang berbicara sendiri. Saya tidak tahu apakah saya akan punya cukup keberanian untuk menatapnya lama-lama. Tapi saya ingin mencoba. Karena mungkin, di balik tatapan yang dibalas atau tidak dibalas, ada pengakuan sederhana: bahwa ia ada, bahwa ia pernah atau masih menjadi bagian dari kita.

Kita mungkin tidak bisa mengubah semua orang dalam semalam, tetapi kita bisa memulai dari diri sendiri. Menghapus stigma bukan hanya soal memahami orang dengan gangguan jiwa, tetapi juga soal berdamai dengan ketakutan kita sendiri. Saat tatapan kita berubah, dunia pun akan ikut berubah.