Rezeki Selalu Tepat Waktu

Menemukan Rezeki di Tempat yang Tidak Pernah Kita Perhitungkan
Saya pernah bekerja di sebuah tempat yang penuh dengan kegilaan. Setiap hari, suara klakson mobil dan suara orang-orang yang berbicara tentang target terdengar seperti musik latar dari kehidupan yang tidak pernah berhenti. Semua orang terlihat sibuk, seolah hari itu adalah pertandingan terakhir yang harus dimenangkan. Tidak ada yang cukup: waktu, gaji, atau rasa tenang. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti. Bukan karena sudah kaya, tetapi karena tubuh dan pikiran saya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Anehnya, ketika saya berhenti mengejar, beberapa hal yang saya butuhkan justru datang sendiri. Bukan dari pekerjaan, tapi dari arah yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan. Seorang tetangga memberi saya sekeranjang buah, katanya berasal dari kebun belakang yang selama ini tidak pernah saya sadari. Seorang teman lama menghubungi untuk menawarkan pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan dari rumah. Semuanya datang seperti angin yang tahu kapan harus melewati. Dan entah kenapa, saya tidak merasa kaget. Saya hanya terdiam, seperti sedang diingatkan sesuatu yang pernah saya ketahui tapi lama saya abaikan: bahwa rezeki tidak pernah tersesat.
Banyak orang mengira rezeki seperti burung langka yang harus dicari dengan strategi rumit dan upaya besar. Maka mereka sibuk merancang rencana, membuat proposal, dan mencari peluang. Tidak salah, tapi ketika semua itu dilakukan dengan ketegangan, rasa takut akan kekurangan, dan meninggalkan waktu-waktu untuk bersujud, rasanya ada yang bergeser dalam cara kita melihat hidup.
Rezeki, rupanya, bukan hanya hasil dari kerja keras. Ia juga merupakan hasil dari ketenangan batin, kejujuran yang terus dipelihara, serta tangan yang tidak rakus. Ia datang bukan karena kita paling pintar, tapi karena kita bersedia menerima, meski lewat jalan yang tidak kita harapkan. Saya pernah bertanya pada seorang pedagang kecil yang lapaknya selalu ramai, padahal ia tidak memiliki iklan dan harga yang biasa saja. “Apa rahasianya?” Ia menjawab ringan, “saya tidak ngutang ke rasa serakah.”
Saya tidak sepenuhnya memahami maksudnya saat itu. Tapi semakin lama, saya semakin mengerti: rasa serakah bisa membuat kita terus merasa lapar meski meja sudah penuh. Dan ketika hati kita sibuk menuntut lebih, kita jadi buta melihat apa yang sebenarnya cukup.
Dalam banyak hal, rezeki datang dalam bentuk yang tidak kita harapkan. Kadang ia datang sebagai tawa anak yang sehat, kadang sebagai waktu tidur yang tenang, atau sebagai teman yang jujur. Bahkan, kadang ia datang dalam bentuk kehilangan—yang membawa kita pada pemahaman baru tentang makna memiliki.
Ada orang yang kehilangan pekerjaan, lalu menemukan panggilan hidupnya. Ada yang gagal menikah, lalu bertemu pasangan yang betul-betul menjadi rumah. Ada yang jatuh miskin, lalu belajar hidup lebih pelan dan penuh makna. Dalam setiap kehilangan yang kita keluhkan, bisa jadi sedang ada rezeki yang diselipkan.
Rezeki tidak selalu berupa uang. Dan uang tidak selalu rezeki. Kadang ia hanya mampir untuk menguji: akan digunakan untuk apa, dengan cara bagaimana ia diperoleh, dan seberapa besar kita masih ingat untuk bersyukur. Maka tidak heran jika dalam tradisi lama, orang tua kita lebih sering mendoakan rezeki yang halal dan berkah, bukan hanya yang besar.
Kita hidup dalam zaman yang mengukur segalanya dengan angka. Penghasilan, produktivitas, bahkan kebahagiaan. Tapi rezeki tidak bisa dilihat dari angka semata. Ia lebih seperti udara yang bersih—tidak terlihat, tapi terasa. Dan ketika ia hadir, kita akan tahu tanpa perlu diberi tahu.
Jika hari ini engkau merasa letih karena terus mengejar, mungkin bukan karena rezekinya lambat. Mungkin karena engkau berlari terlalu jauh dari tempat ia biasa datang. Sebab sering kali, rezeki tidak datang lewat jalan yang rumit, tapi lewat hal-hal sederhana yang kita lupakan: salat yang khusyuk, senyum yang jujur, sabar yang tidak diumumkan, dan sedekah yang tak dicatat siapa-siapa.
Dan bisa jadi, rezeki yang engkau tunggu itu sedang menunggu engkau kembali. Bukan kembali ke pasar, tapi ke sujud. Karena pada akhirnya, rezeki tak pernah salah alamat. Ia hanya sedang menunggu rumah yang tenang untuk ia ketuk.