Mengapa Ratusan Guru Mundur dari Sekolah Rakyat

Featured Image

Masalah Penempatan Guru di Sekolah Rakyat

Sebanyak 160 guru dari Sekolah Rakyat di berbagai daerah di Indonesia memutuskan untuk mengundurkan diri. Alasan utama mereka adalah penempatan lokasi mengajar yang jauh dari tempat tinggal. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dan realitas yang dihadapi oleh para guru.

Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, menyatakan bahwa pemerintah telah memiliki solusi untuk mengatasi masalah ini. Menurutnya, saat ini terdapat sekitar 50 ribu guru yang sedang menjalani pendidikan profesi dan belum mendapatkan penempatan. Mereka diharapkan bisa menjadi pengganti bagi guru-guru yang mundur. Namun, hal ini tidak sepenuhnya memberikan jawaban atas masalah mendasar yang ada.

Kritik terhadap Kebijakan Penempatan Guru

Pengamat kebijakan publik sekaligus pendiri Nalar Institute, Yanuar Nugroho, menilai bahwa kejadian ini menjadi peringatan akan kegagalan desain kebijakan penempatan guru. Menurutnya, kebijakan yang ditentukan oleh sistem administratif Badan Kepegawaian Negara terlalu sentralistik dan tidak mempertimbangkan kondisi sosial-geografis.

Yanuar menyoroti bahwa penentuan lokasi mengajar dilakukan tanpa memperhatikan domisili, kapasitas mobilitas, dan aspirasi personal para guru. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara kebutuhan pendidikan di daerah dan kesiapan individu guru. Dari perspektif kebijakan publik, masalah ini mencerminkan kegagalan ganda, yaitu absennya mekanisme partisipatif dan lemahnya koherensi lintas sektor.

Menurutnya, kebijakan penempatan tenaga pengajar di Sekolah Rakyat harus melibatkan partisipasi guru dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, guru yang melamar sebagai tenaga pengajar sebaiknya diberikan ruang pilihan lokasi. Selain itu, ia juga mengkritik respons pemerintah yang hanya fokus pada suplai guru cadangan. Menurutnya, cara pandang tersebut terlalu sempit dan teknokratis.

Yanuar menekankan bahwa relasi sosial antara guru dan komunitas tempat mengajar lebih penting daripada sekadar jumlah guru. Ia mendorong agar pemerintah segera memperbaiki arsitektur kebijakan penempatan guru secara menyeluruh. Tanpa koreksi serius dan perubahan cara pandang terhadap guru, Sekolah Rakyat hanya akan menjadi proyek di atas kertas yang kehilangan makna.

Pandangan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, juga menyampaikan kritik serupa. Ia menilai ada pengabaian dari pemerintah terhadap kebijakan penempatan guru yang menyebabkan ratusan guru mengundurkan diri. Menurutnya, pemerintah seolah menutup mata terhadap fakta bahwa penempatan guru yang jauh adalah gejala dari masalah yang lebih besar.

Ubaid menegaskan bahwa penempatan guru seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial-ekonomi lokal. Ia menyarankan agar pemerintah daerah dilibatkan dalam proses penentuan penempatan guru Sekolah Rakyat. Menurutnya, pemerintah pusat tidak bisa memaksakan penempatan berdasarkan sistem yang seragam untuk seluruh wilayah. Data dan informasi dari daerah sangat penting untuk penempatan yang efektif.

Selain itu, dia menilai guru harus dilibatkan secara aktif dalam proses penentuan penempatan. Pelibatan ini bisa dilakukan melalui mekanisme konsultasi dan survei preferensi. Tujuannya adalah menyalurkan aspirasi para guru sehingga tercipta rasa kepemilikan dan komitmen terhadap program Sekolah Rakyat.

Kekhawatiran tentang Keadilan dalam Pendidikan

Ubaid khawatir program Sekolah Rakyat hanya dijadikan proyek coba-coba. Hal ini berdampak pada siswa dari kalangan miskin yang seolah menjadi kelinci percobaan proyek pemerintah. Padahal, menurutnya, anak-anak dari golongan tak mampu seharusnya mendapatkan pendidikan terbaik. Mereka justru kian terpinggirkan oleh kebijakan yang seharusnya mengangkat mereka. Sistem yang sekarang dinilai tidak berkeadilan.